Senin 14 Oct 2019 14:57 WIB

Pasal Soal Dewan Pengawas KPK Digugat ke MK

Salah satunya uji materi pasal yang berisi ketentuan adanya Dewan Pengawas KPK.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Suasana sidang perdana uji materi UU KPK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (30/9).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Suasana sidang perdana uji materi UU KPK di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah advokat yang juga mahasiswa dan mahasiswi program pascasarjana magister ilmu hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah Bekasi mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya uji materi pasal yang berisi ketentuan adanya Dewan Pengawas KPK.

"Yang kita uji adanya dewan pengawas. Ini pendapat kami, dengan adanya dewan pengawas ini menjadikan KPK tidak independen lagi," ujar salah satu pemohon, Wiwin Taslim usai sidang pendahuluan di Gedung MK, Senin (14/10).

Ia menuturkan, seharusnya KPK diberikan kewenangan agar lebih independen dan bukan dibentuk dewan pengawas KPK. Untuk itu, pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf a tentang ketentuan dewan pengawas KPK.

Dalam petitum permohonannya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 21 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor ... Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dalam berkas perkara nomor 59/PUU-XVII/2019, disebutkan bahwa perubahan UU KPK saat ini memunculkan 'Dewan Pengawas' yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a. Pasal itu menyatakan: Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas: a. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang.

Para pemohon menilai, dewan pengawas berpotensi mengganggu independensi KPK dalam melakukan penindakan dan pencegahan korupsi. Selain itu, kententuan adanya dewan pengawas dinilai bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi dam UUD 1945.

Sementara itu, Majelis Hakim Konsitusi meminta pemohon memperbaiki permohonan karena tak disebutkannya nomor UU yang akan diuji. Sebab, Hakim Enny Nurbaningsih mengatakan, objek yang diuji harus jelas.

"Sementara objek yang diajukan ini belum ada, masih titik-titik di situ, tidak boleh juga dititipkan pada MK, karena yang mengajukan kan pemohon, jadi harus ada kejelasan objeknya apa yang diajukan permohonan," jelas Enny dalam sidang pendahuluan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement