Selasa 15 Oct 2019 09:55 WIB

Alasan KPK Berpotensi 'Mati Suri' Hingga Desember

Presiden Jokowi belum akan menerbitkan Perppu KPK.

Anggota Wadah Pegawai KPK membawa bendera kuning saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta (Ilustrasi)
Foto: ANTARA/WAHYU PUTRO
Anggota Wadah Pegawai KPK membawa bendera kuning saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Erika Nugraheny, Ali Mansur, Wahyu Suryana, Sapto Andika Candra

Indonesian Corruption Watch (ICW) mengingatkan potensi mati surinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait akan berlakunya UU KPK mulai 17 Oktober nanti. Nasib dan masa depan KPK menjadi krusial dalam konteks periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca Juga

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, mengatakan secara umum pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin pada lima tahun ke depan akan menghadapi persoalan yang jauh lebih banyak jika dibandingkan lima tahun belakangan. Salah satu faktor yang mempengaruhi, kata dia, karena Presiden yang memimpin pada periode kedua kerap kali gagal dalam menghadapi turbulensi sosial-politik.

"Hal ini dialami oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di periode kedua masa kepemimpinannya, yang mana dibayangi kasus Century, kasus Hambalang, sehingga agenda pemerintahan tidak jalan. Ada offside juga di ujung pemerintahan di mana sempat ingin mengubah desain pilkada langsung menjadi tidak langsung," ungkap Donal dalam diskusi bertajuk 'Proyeksi Masyarakat Sipil Bidang Penegakan Hukum Lima Tahun Mendatang' di Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (14/10).

Terkait KPK, kata Donal, saat ini masyarakat dihadapkan pada tiga pilihan atas tindak lanjut penerbitan UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR pada 17 September lalu. Tiga pilhan itu adalah penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), uji materi, atau legislative review

"Tapi, di luar itu semua, pada 17 Oktober itu nanti akan berlaku UU KPK. Dengan kata lain hanya kurang dari 30 hari lagi UU KPK berlaku secara hukum," tutur Donal. 

Berlakunya UU KPK yang baru sebagai konsekuensi atas aturan yang menyebutkan bahwa selama 30 hari UU KPK hasil revisi tidak diundangkan, maka tetap akan berlaku secara sah. Konsekuensinya, lanjut Donal, KPK tidak bisa melakukan penindakan lagi setelah itu.

"Artinya, KPK sampai ada Dewan Pengawas (Dewas) dibentuk, tidak bisa lagi melakukan penindakan. KPK akan vakum secara kewenangan penindakan. Sebagaimana kita tahu (berdasarkan UU KPK hasil revisi), penindakan KPK harus mendapat izin dari Dewan Pengawas," papar Donal menegaskan. 

Dia pun mengingatkan, bahwa Dewan Pengawas dibentuk dan dilantik bersamaan dengan pimpinan KPK yang baru. "Pimpinan KPK dilantik pada Desember, sehingga KPK tidak bisa melakukan penindakan setidaknya sampai Desember mendatang," ujar Donal.

Setelah 17 Oktober, penyidik KPK tidak mungkin bisa melakukan penyadapan, lantaran belum terbentuk dan terpilihnya Dewan Pengawas. Sementara itu, jika KPK tetap nekat melakukan penindakan, akan ada gugatan dari berbagai pihak dengan alasan melawan legitimasi hukum berdasarkan UU KPK hasil revisi.

"Inilah mengapa kami ingin segera diterbitkan Perppu atas UU KPK. Jika UU KPK hasil revisi berlaku mulai 17 Oktober nanti, maka KPK tidak bisa melakukan penindakan, KPK mati sampai Desember 2019. Sebab kita tahu UU KPK hasil revisi tidak memiliki pasal peralihan, sehingga kami tegaskan lagi ada vacuum of power pada KPK, " tambah Donal. 

Pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, bahwa saat ini semakin jauh harapan Presiden Jokowi akan mengeluarkan Perppu KPK. Sebab, seluruh kebijakannya saat ini dikontrol oleh partai pendukungnya.

"Jokowi tidak berani melawan kepentingan partai politik dan menuruti desakan masyarakat," tutur Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti dalam diskusi di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, Senin (14/10).

Ray menilai, Presiden Jokowi sebenarnya tidak memiliki alasan untuk tidak menerbitkan Perppu UU KPK dengan melihat kondisi sosial yang ada saat ini. Kondisi konstitusional dan politik juga sudah sangat cukup bagi Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perppu UU KPK.

"Secara konstitusional cukup alasan Presiden keluarkan perppu karena memang betul situasinya sudah mendesak. Bahkan akibatnya, sejumlah orang dipenjara karena memperjuangkan perppu," keluh Ray.

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril mengingatkan, UU KPK hasi revisi merupakan usaha sistematis untuk membatasi kewenangan KPK. Karenanya, Oce merasa, Presiden RI harus segera menerbitkan Perppu KPK.

"Sebab, revisi UU KPK akan efektif berlaku mulai 17 Oktober 2019 walau tanpa tanda tangan presiden," ujar Oce.

Untuk itu, Oce mengingatkan Presiden untuk memenuhi komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Serta, mendesak presiden terbitkan Perppu KPK demi menyelamatkan KPK dan memperkuat usaha pemberantasan korupsi.

Respons Istana

Istana kepresidenan memberi sinyal bahwa, penerbitan Perppu KPK belum terwujud dalam waktu dekat. Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Adita Irawati, menyebutkan, bahwa Presiden Jokowi perlu mendengarkan masukan dari banyak pihak terkait topik ini, tak hanya dari satu sisi seperti mahasiswa.

"Banyak yang bertanya ini mahasiswa memberi tuntunan deadline hari ini, ya beliau kan mendengarkannya dari berbagai pihak. Juga mempelajari lagi salinan yang dari DPR. Jadi mungkin masih merlukan waktu," kata Adita, Senin (14/10).

Meski begitu, Adita mengaku tak tahu menahu kapan beleid yang akan mengoreksi pengesahan UU KPK ini bisa diterbitkan. "Saya sih kok sepertinya tidak hari ini ya, sepertinya," katanya.

Dalam pertemuan antara Kepala Staf Presiden Moeldoko dan perwakilan mahasiswa pada awal Oktober lalu, mahasiswa mendesak agar Presiden Jokowi menerbitkan Perppu untuk mengoreksi UU KPK yang sudah disahkan. Selain itu, perwakilan mahasiswa juga menyampaikan tujuh tuntutan tuntaskan reformasi yang sebelumnya disuarakan mahasiswa saat demonstrasi di jalanan.

"Ditambah kita desak negara untuk segera menindaklanjuti kawan-kawan kita yang ditahan polisi agar segera dibebaskan. Kita tuntut pemerintah dan negara usut tuntas pelaku yang sebabkan kawan kami meninggal dunia," kata Presiden Mahasiswa Trisakti Dinno Ardiansyah, Kamis (3/10).

Dinno menegaskan bahwa kemauan mereka untuk membuka dialog dengan pemerintah dilakukan demi mendapat kepastian mengenai sikap Presiden Jokowi terhadap revisi UU KPK. Selain itu, ujar Dinno, pihak mahasiswa sendiri juga berupaya menempuh judicative review demi mengoreksi UU KPK yang terlanjur disahkan.

"Kita mendesak negara membuat adanya agenda jajak pendapat antara negara, presiden dengan mahasiswa sampai 14 Oktober," katanya.

Bila permintaan dialog ini tidak dipenuhi sampai 14 Oktober 2019, perwakilan mahasiswa mengancam untuk mengajak kembali rekan-rekannya turun ke jalanan dalam jumlah massa yang lebih besar. "Kalau sampai 14 Oktober tidak ada juga diskusi dan tidak ada statement dari Presiden, kita pastikan mahasiwa akan turun ke jalan dan lebih besar lagi," katanya.

Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, mengingatkan mahasiswa untuk tidak memberi batas waktu kepada Presiden terkait rencana penerbitan Perppu KPK. "Ini yang saya awal bilang kalau, jangan main deadline. Nggak bisa dalam bentuk ancaman. Kan ini negara. Kalau deadline terkait Perppu, jangan mengancam. Ini kemampuan intelektual orang dengan keputusan politik dalam bernegara. Jadi nggak bisa orang main ancam ke presiden," jelas Ngabalin, Senin (14/10).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

The Best Mobile Banking

1 of 2
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement