REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG – Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengatakan akan memfokuskan pidato tahunan kebijakannya pada masalah penyediaan lahan dan perumahan. Pidatonya dijadwalkan dilaksanakan pada Rabu (16/10).
Lam tak menjelaskan lebih terperinci tentang apa saja yang akan disampaikannya dalam pidato nanti. Namun, masalah tentang penyediaan lahan dan perumahan memang dinilai sengaja diangkat guna meredam aksi demonstrasi yang telah berlangsung selama empat bulan terakhir.
“Ini (dukungan kebijakan) terutama akan berasal dari peningkatan stok perumahan. Perumahan tampaknya menjadi masalah besar saat ini. Mungkin juga ada bantuan untuk pengecer, sektor pariwisata, dan katering, yang paling terdampak,” kata ekonom dari OCBC Wing Hank Bank, Carie Li, Selasa (15/10).
The Democratic Party dan Democratic Alliance for the Betterment and Progress of Hong Kong (DAB) mengatakan pemerintah harus menggunakan peraturan untuk mengambil kembali lahan pertanian dari pengembang, kemudian membangun perumahan.
“Kekurangan perumahan semakin serius, terutama setelah pemerintah mengubah rasio perumahan publik ke swasta menjadi 70:30. Kebutuhan perumahan umum lebih unggul, tapi pasokan lahan tetap sama,” kata anggota parlemen DAB Lau Kwok-fan.
Beberapa ekonom Hong Kong berharap Lam akan turut mengambil langkah untuk mendukung dan memulihkan sektor ritel. Sebab, sektor tersebut telah melorot sejak demonstrasi pecah dan tak kunjung usai hingga kini.
Agustus menjadi bulan penjualan terburuk bagi pelaku bisnis ritel di Hong Kong. Demonstrasi yang tengah membuncah memaksa pertokoan tutup, termasuk saat akhir pekan dan hari libur umum.
Menurut data statistik dari Bank of America Merrill Lynch, sektor ritel, akomodasi, dan jasa atau layanan makanan mempekerjakan sekitar 16,3 persen warga Hong Kong. Pada Agustus lalu, pemerintah telah meluncurkan paket bantuan sebesar 19,1 miliar dolar Hong Kong untuk mendukung perlambatan ekonomi, termasuk subsidi kepada perusahaan dan bisnis yang kurang mampu, serta potongan pajak gaji yang agak lebih tinggi.
Goldman Sachs memperkirakan bahwa Hong Kong mungkin telah kehilangan sebanyak 4 miliar dolar AS dalam bentuk deposito antara Juni dan Agustus. Laporan Goldman memang tak menyinggung tentang demonstrasi sebagai penyebab, tapi periode waktu itu bertepatan dengan aksi unjuk rasa yang digelar warga Hong Kong.
Gelombang demonstrasi di Hong Kong selama empat bulan terakhir terjadi setelah adanya pengenalan rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. Masyarakat menganggap RUU tersebut merupakan ancaman terhadap independensi proses peradilan di Hong Kong.
Sebab bila diratifikasi, RUU itu memungkinkan otoritas Hong Kong mengekstradisi pelaku kejahatan atau kriminal ke China daratan. Mereka menilai RUU itu dapat merusak independensi hukum Hong Kong.
Selain itu, para demonstran menilai proses peradilan di China tak independen dan perlindungan hak asasi manusianya tak dijamin. Oleh sebab itu, mereka menyerukan RUU ekstradisi dicabut sepenuhnya.
Pada awal September lalu, Carrie Lam akhirnya memutuskan menarik RUU tersebut. Dia mengatakan prioritas pemerintahannya saat ini adalah mengakhiri kekerasan, menjaga supremasi hukum, dan memulihkan ketertiban serta keamanan di masyarakat.
Namun, hal itu tak cukup untuk meredam dan menghentikan gelombang demonstrasi. Massa justru menuntut Lam mundur dari jabatannya dan mendesak agar kekerasan yang dilakukan aparat terhadap demonstran diusut tuntas.
Lam telah mengisyaratkan akan mengizinkan militer China memasuki wilayahnya jika situasi tak terkendali. Jika hal itu dilakukan, kondisi di Hong Kong diyakini akan semakin bergejolak.