REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Divisi Humas Polri Irjen M Iqbal, mengatakan, tidak melarang adanya demo untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Ia memastikan akan mengayomi dan melindungi masyarakat selama demo berlangsung.
Namun, semua itu sudah diatur berdasarkan undang-undang mengenai kebebasan untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Sehingga Polri mengamankan hak diskresi kepolisiannya saat aksi demo sudah mulai anarkis.
“Pada 30 September 2019, apakah itu aspirasi menyampaikan pendapat di muka umum? perusakan, pelemparan, dan pembakaran? saya tidak menunjuk siapa tapi itu jelas bukan mahasiswa tapi perusuh yang mendompleng. Nah, itu kami mengantisipasi ini. Polda Metro Jaya (PMJ) mengeluarkan diskresinya,” kata dia di Jakarta Selatan, Rabu (16/10).
Iqbal menambahkan kalau ada kelompok masyarakat yang menyampaikan pendapat dengan anarkis artinya mereka tidak mengerti Undang-Undang (UU) nomor 9 tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum. Pada pasal 6 1998 berisi menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. Jika ini tidak ditaati, maka polisi wajib membubarkan demo tersebut.
Dengan berbuat anarkis berarti sudah melanggar pidana. Dia mengatakan, PMJ bertugas memelihara ketertiban masyarakat demi kepentingan besar. Saat menjelang pelantikan Presiden, terdapat pemimpin negara dan kepala negara hadir dari penjuru dunia. Maka dari itu, harus dijaga wajah bangsa serta harkat dan martabat bangsa.
“Kami mengimbau seluruh masyarakat yang ingin menjaga bangsa ini. Kita bangsa yang besar. Tunjukan kita menjadi teladan bagi bangsa lain. Kita dewasa berpolitik. Yang ingin menyampaikan aspirasi, hati-hati dengan penunggang gelap,” kata dia.
Iqbal memaparkan, UU nomor 9 tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum bahkan dalam pasal itu disebutkan, Polri wajib mengawal agar aspirasi masyarakat tidak bergeser kepada aksi anarkis atau mengarah perbuatan melawan hukum. Pasal 6 tahun 1998 tentang limitatif, ada aturan seorang warga negara untuk mematuhi pasal 6 1998 tersebut.
Lalu pasal 6 1998 itu berisi lima aspek. Pertama, menghormati hak dan kebebasan orang lain. Iqbal memberikan contoh saat aksi demo kemarin, membuat situasi jalan menjadi padat kendaraan alias macet itu sudah tidak menghormati, apalagi sebuah mobil sipil dipukuli. Kedua, menghormati aturan moral yang diakui umum. Ketiga, menaati hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, menjaga keamanan dan ketetapan umum. Terakhir, kelima paling krusial menjaga keutuhan dan keamanan bangsa.
Sebelumnya diketahui, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengatakan pihaknya mengkritisi larangan aksi unjuk rasa hingga 20 Oktober mendatang. Menurutnya, pelarangan tersebut merupakan tindakan inkonstitusional. Dalam esensi sistem demokrasi Presiden adalah lembaga publik. Sehingga Presiden tetap bisa dikritik.
"Hak menyampaikan pendapat, hak aksi itu kan dijamin oleh UUD dan UU Nomor 9 Tahun 1998. Karena itu melarang itu tindakan inkonstitusional, tindakan yang melanggar konstitusi. Aksi itu harus diperkenankan selama tak membawa senjata tajam (sajam)," ujar Asfinawati usai mengisi diskusi di Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (15/10).
Sehingga, jika pada pada hari H pelantikan Presiden pada 20 Oktober nanti ada aksi unjuk rasa, maka seharusnya tidak dilarang. Bahkan, aksi unjuk rasa bisa dilakukan dengan teknik lain.
"Pertama mungkin tempatnya, jaraknya, itu maksimal yang bisa dilakukan yaitu membatasi jarak orang yang aksi. Tapi sampai saat ini aksi dilarang di depan istana, sehingga apalagi yang aneh," tambah Asfinawati.