REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan luas kebakaran hutan dan lahan hingga September 2019 mencapai 858 ribu hektare (ha), naik signifikan dari luasan karhutla bulan sebelumnya sebesar 329 ribu ha. Pada bulan Oktober ini, total luas karthutla diprediksi masih bertambah.
"(Bulan ini) pasti bertambah. Tapi, pertambahannya saya yakin sedikit, tidak seperti dari Agustus ke September karena titik-titik kebakaran saat ini sudah cukup kecil," kata Pelaksana Tugas Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, KLHK, Raffles Pandjaitan dalam konferensi pers di Manggala Wanabakti, Jakarta, Senin (21/10).
Raffles menuturkan, berdasarkan prediksi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), musim hujan secara penuh akan tiba pada pertengahan November sementara Desember diyakini musim kemarau sudah berakhir.
Musim hujan, disamping berbagai upaya yang telah dilakukan, akan menjadi penentu kelanjutan dari karhutla yang masih terjadi di beberapa daerah. Sementara ini, setiap daerah mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten kota masih mengikuti status siaga darurat, tanggap darurat, hingga pemulihan becana yang telah ditetapkan.
Adapun tujuh provinsi yang masih menjadi fokus penanganan Karhutla yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Penetapan status tersebut agar pengendalian Karhutla oleh pemerintah daerah dan pusat dapat lebih cepat. Terutama dalam hal penyediaan anggaran untuk operasi pengendalian. Raffles mengatakan, harus diakui peningkatan luasan Karhutla dari bulan Agustus ke September lalu sangat besar dan mengejutkan banyak pihak.
Menurut dia, penyebab meluasnya kebakaran itu mayoritas akibat api yang muncul imbas ulah manusia, bukan karena faktor alam. Modus-modus pembakaran hutan dan lahan di antaranya, tidak adanya modal usaha sehingga harus membakar lahan demi memperluas lahan perkebunan hingga pembakaran oleh penduduk yang dibayar oleh perusahaan.
"Ada orang-orang tertentu yang mencari keuntungan karena di dibayar oleh orang-orang tertentu. Ini lagi kita proses. Terkadang sulit juga menelusuri ini karena dia sudah siap untuk tidak buka mulut," kata dia.
Raffles memaparkan, ada pula kebakaran yang terjadi secara tidak disengaja akibat ketidaktahuan warga setempat. Api yang muncul alhasil terbawa oleh angin di lahan yang kering dan mudah terbakar.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, berdasarkan pantauan satelit NOAA, hotspot atau titik panas kurun waktu 1 Januari - 20 Oktober 2019 sebanyak 8.139 titik atau naik 83,64 persen dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 4.432 titik.
Sementara, satelit NASA menunjukkan, total titik panas di waktu yang sama mencapai 25.318 titik atau naik 198,07 prsen dibanding periode sama 2018 yang hanya 8.494 titik.
Khusus pada bulan Oktober ini, Raffle memaparkan, keberadaan titik panas telah mencapai puncaknya pada 14 Oktober 2019 dengan total jumlah 482 titik. Saat ini, ia mengklaim, titik panas telah dalam tren penurunan.