REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Demonstrasi antipemerintah kembali berlangsung di Baghdad, Irak, Jumat (25/10). Aksi unjuk rasa dilakukan setelah jeda selama sekitar tiga pekan.
Sejak Kamis malam waktu setempat, pasukan keamanan telah dikerahkan ke jalan-jalan utama Baghdad. Namun, hal itu tak menghalangi massa melanjutkan demonstrasi.
"Kami ingin pemerintah mundur agar sistem politik sepenuhnya diubah. Seluruh elite politik perlu berubah karena sistem saat ini tidak melakukan apa pun bagi kami," ujar seorang demonstran berusia 20 tahun, dikutip laman Aljazirah.
Seorang pengacara berusia 28 tahun yang turut berpartisipasi dalam demonstrasi mengatakan perubahan di Irak perlu dimulai dengan konstitusi baru. "Kami ingin konstitusi baru. Tanpa hal itu, tidak ada yang bisa berubah. Itu adalah konstitusi yang menciptakan krisis sektarian yang telah kami jalani selama bertahun-tahun," ucapnya.
Seperti sebelumnya, aksi unjuk rasa kembali berujung ricuh saat aparat keamanan berupaya membubarkan massa yang berjalan menuju gedung-gedung pemerintah. Gas air mata dan granat kejut ditembakkan ke kerumunan demonstran.
Aparat pun menembakkan peluru tajam. Setidaknya dua orang dilaporkan tewas dan lebih dari 100 lainnya mengalami luka-luka.
Ulama Syiah terkemuka Irak Aytollah Ali al-Sistani menyerukan kepada para pengunjuk rasa dan aparat keamanan untuk menjaga demonstrasi tetap berlangsung damai. "Reformasi dan perubahan di negara ini harus melalui metode damai," ujarnya saat melakukan khutbah Jumat.
Sistani mengatakan pasukan keamanan tidak boleh membiarkan serangan terhadap properti publik dan pribadi. Dalam pidato pada Kamis, Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi mengungkapkan warga Irak diperkenankan melakukan demonstrasi. Namun aksi kekerasan tidak akan ditoleransi.
Mahdi turut mengomentari tuntutan massa yang menghendaki pemerintahan saat ini mundur. Menurutnya, hal itu dapat menyeret Irak dalam kekacauan lebih lanjut.
"Pengunduran diri pemerintah hari ini tanpa alternatif konstitusional akan membawa negara dalam kekacauan," kata dia.
Dalam pidatonya, Mahdi kembali mengulangi reformasi yang diumumkan beberapa waktu lalu, termasuk perombakan kabinet, peluang kerja bagi kaum muda yang menganggur, dan pemangkasan gaji para pegawai pemerintah, termasuk pejabat tinggi. Aksi demonstrasi di Irak pecah pada 1 Oktober lalu.
Masyarakat turun ke jalan untuk memprotes permasalahan yang mereka hadapi, seperti meningkatnya pengangguran, akses terhadap layanan dasar, termasuk air dan listrik, yang terbatas serta masifnya praktik korupsi di tubuh pemerintahan. Mereka mendesak Abdul Mahdi mundur dari jabatannya.
Demonstrasi yang berlangsung selama sepekan menelan sekitar 150 korban jiwa. Ribuan lainnya dilaporkan mengalami luka-luka. PBB telah mengecam pasukan keamanan Irak atas banyaknya korban tewas dalam unjuk rasa di sana.
"Lima hari (berlangsungnya demonstrasi) dilaporkan kematian dan cedera. Ini harus dihentikan,” kata Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Irak Jeanine Hennis melalui akun Twitter pribadinya pada 5 Oktober.
Dia menyerukan agar semua pihak menahan diri dan melakukan refleksi. “Mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan harus dimintai pertanggung jawaban,” ujar Hennis.
Militer Irak mengakui mengerahkan kekuatan berlebih dalam menangani para demonstran, khususnya di Baghdad, pada awal Oktober lalu. “Kekuatan berlebihan di luar aturan keterlibatan telah digunakan dan kami telah mulai meminta pertanggung jawaban para perwira komandan yang melakukan tindakan salah ini,” kata militer Irak dalam sebuah pernyataan pada 7 Oktober lalu.
Pada hari yang sama dengan pengumuman tersebut, Presiden Irak Barham Salih mengutuk kekerasan terhadap para demonstran dan jurnalis. Dia mendesak pasukan keamanan menghormati dan menjaga hak-hak warga di sana.
Salih mengatakan gelombang demonstrasi di Irak dipicu kesengsaraan yang dirasakan warga. Namun, dia menyesalkan aksi itu direspons dengan tindakan represif.
“Pemuda yang tewas dalam demonstrasi telah meninggalkan luka di dada yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan jaminan. Apa yang telah terjadi harus dianggap penghasutan dan kejahatan yang tidak bisa ditoleransi,” kata Salih, dikutip laman Al Arabiya.
Pada 9 Oktober Adel Abdul Mahdi akhirnya mengumumkan tiga hari berkabung nasional. Dia menyesalkan banyaknya warga Irak yang tewas dalam demonstrasi. Dia mengklaim pemerintah tidak pernah memberikan instruksi kepada pasukan keamanan untuk menembak para pengunjuk rasa.