Senin 28 Oct 2019 06:31 WIB

Pengamat: Gunakan Data Pangan yang Minim Konflik Kepentingan

Pengumpulan data BPS versi baru telah mengeliminir potensi kesalahan dan manipulasi.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Gita Amanda
Pertanian Indonesia.
Foto: Kementan
Pertanian Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) diminta ikut pada data pangan beras yang telah diakui secara nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori menyampaikan resistensi yang terjadi di akhir masa jabatan Menteri Pertanian (Mentan) akan menjadi kontraproduktif.

"Sebaiknya sudah selesai, tidak melihat ke belakang, agar bisa beralih ke data yang lain, misal jagung," katanya kepada Republika.co.id, Ahad (27/10) lalu.

Baca Juga

Ia sendiri ikut dalam beberapa kali penjelasan metode dan kajian dari data pangan versi BPS. Khudori melihatnya sebagai data yang kredibel karena melibatkan banyak pihak, berkesinambungan, dan tidak instan.

Pengumpulan data versi baru pun, tambahnya, telah mengeliminir potensi kesalahan dan manipulasi manusia. Data-data sampel yang ada tidak bisa diinput ke sistem jika tidak langsung datang ke lapangan.

BPS dan berbagai pihak perlu menyusunannya selama lima tahun. Ini merupakan penyempurnaan data dari metode lama sejak tahun 70an. Dan yang terpenting, kata Khudori, tidak ada potensi conflict of interest di dalamnya.

"Menurut saya data yang digunakan sebaiknya dibuat oleh yang sifatnya sangat strategis dan tidak menimbulkan kontroversi, mestinya diserahkan ke lembaga yang tidak punya kepentingan, agar tidak terjadi conflict interest," katanya.

Sementara Kementerian Pertanian memiliki beragam program dan kegiatan. Sehingga potensi membawa konflik kepentingannya sangat besar. Khudori sendiri menyayangkan kegaduhan terjadi di akhir masa jabatan Mentan Amran Sulaiman. 

Amran menyebut tingkat kesalahan data BPS mencapai 92 persen. Salah satu perbedaan data adalah luas bahan baku sawah versi Kementan yang sebesar 8,1 juta hektare. Sementara di data BPS yang dirilis tahun lalu mencatatnya sebesar 7,1 juta hektare.

Penyusunan data beras tersebut melibatkan Badan Informasi Geospasial (BIG) dan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan sejumlah ahli independen.

Sementara Amran mengerahkan aparat Kementerian Pertanian di daerah untuk verifikasi data. Ia menyebut ada lahan-lahan yang tidak terdeteksi oleh sistem satelit. Amran juga mengklaim ada sekitar 130 kepala daerah yang memprotes data BPS.

Khudori mempertanyakan mengapa keluhan tidak disampaikan saat penyusunan data. Padahal kementerian pertanian juga dilibatkan. Resistensi yang muncul sekarang akan menjadi kontraproduktif.

"Sampai kapan akan begini, padahal ada banyak komoditas lain yang harus diurus juga," kata Khudori.

Komoditas jagung diperkirakan akan menjadi sasaran perapihan data selanjutnya. Khudori menduga tingkat overestimatednya akan lebih tinggi dibandingkan beras. Selama ini Kementan optimistis jagung selalu surplus.

Namun terjadi kontra di pasar karena banyak peternak unggas dan lainnya yang mengeluhkan kelangkaan jagung. Sementara itu, Sekretaris Perusahaan Bulog Awaludin Iqbal menyampaikan Bulog hingga saat ini menggunakan data BPS.

"Tentang data pangan kami menggunakan data dari BPS dan dari Bulog," katanya.

Data dari Bulog terkait dengan data persediaan komoditi yang dikelola dan dikuasai atau tersimpan di gudang Bulog. Sedangkan data pangan yang lain, sesuai ketentuannya, Buloh menggunakan data BPS.

Menurutnya, Bulog adalah operator atas kebijakan pemerintah di bidang pangan, khususnya dalam menjaga stabilitas harga. Karenanya Bulog akan melaksanakan kebijakan pemerintah terkait dengan hal tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement