REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kedatangan duta besar negara Islam ke Eropa sangat menarik perhatian. Masyarakat umum berbondong-bondong ingin tahu, seperti apa wujud bangsa yang menjadi musuhnya selama ini. Masyarakat ingin mengetahui seperti apa budaya dan kehidupan negara Islam. Kedatangan para duta besar merepresentasikan setiap negara.
Karena itu, duta besar harus menarik simpati publik sebanyak-banyaknya Rasa ingin tahu ini sudah terlihat sejak kedatangan Marzuq Ra’is, duta besar sekaligus sekretaris pribadi Raja al-Mansur pada 1588. Selanjutnya, pada 1600 al-Mansur kembali mengirim Abdul Wahid Ibn Masoud bersama enam delegasi lainnya. Mereka membicarakan perjanjian dagang, perda maian, dan kemungkinan barter alat perang.
Hal ini semakin terlihat pada kedatang an Jawdhar Ibn ‘Abdullah pada 1637 di London. Dia datang sebagai utusan untuk Raja Charles I. Untuk menyambut keda tang annya, digelar sebuah pesta. Pesta diadakan dua pekan setelah dubes me mu lihkan kesehatannya akibat malaria.
Pada pesta sekaligus pertemuan ini, para budak dibebaskan dan Jawdhar mendapat kuda Barbarian yang sangat mahal. Nilainya saat ini lebih dari 250 ribu dolar AS. Pesta digelar meriah dan bisa dilihat seluruh lapisan masyarakat Inggris. Bagi yang tidak sempat melihat bisa membacanya dalam buklet. Buklet itu berisi informasi siapa duta besar, dan bagaimana budaya Islam. Adanya buklet diharapkan bisa memuaskan rasa ingin tahu masyarakat.
Kedatangan Jawdhar juga mengemban misi, yaitu membujuk Raja Charles I menolak pengakuan atas legitimasi wilayah Sale yang terletak di barat laut Maroko. Saat itu sebagian wilayah Sale memerdekakan diri dari Kerajaan Maroko dan berusaha mendapatkan dukungan dari Kerajaan Inggris selaku salah satu imperium penguasa lautan. Misi Jawdhar berhasil, Charels tak mau mengakui wilayah Sale sebagai negara.
Secara umum, sebetulnya kunjungan para duta besar tidak membawa dampak besar pada dunia perpolitikan. Hal ini bisa dilihat saat Ben Haddu tidak bisa meminta bantuan Charles II untuk tidak mengambil alih Tangier, kota pelabuhan strategis yang terletak tepat berseberangan dengan Gibraltar. Saat itu Tangier sedang dikuasai Portugis dan Ottoman mendesak Maroko agar mengambilnya kembali.
Charles II mengabaikan permintaan Ben Haddu, Duta Besar Maroko untuk Kerajaan Inggris. Pada 1661, Portugis menyerahkan Tangier dan Mumbay (India) kepada Inggris. Hal yang sama juga coba dilakukan duta besar Ahmad Qardanash, sekitar abad ke-18.
Namun, hal tersebut tidak bisa dibandingkan pada sisi budaya. Pada bidang tersebut, pada duta besar bisa dikatakan sangat berhasil. Hal ini bisa dilihat pada masa Ben Haddu yang merupakan duta besar terbaik. Sepanjang abad ke-17, Oxford khususnya telah membangun koleksi naskah tentang dunia Islam.
Para pedagang yang kembali dari Afrika Utara dan wila yah Levant (Mediterania Timur) didorong untuk membawa kembali setidaknya satu buku. Mahasiswa kedokteran didorong memiliki pengetahuan dasar bahasa Arab untuk membaca teks medis buatan ilmuwan Arab. Meskipun demikian, mungkin hanya beberapa dari mereka yang mela kukannya.
Sumber: saudiaramco