REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pejabat tinggi di beberapa negara yang bersekutu Amerika Serikat (AS) menjadi korban peretasan yang dilakukan melalui aplikasi kirim pesan Whatsapp. Sumber yang terlibat dalam penyelidikan peretasan ini mengatakan akun Whatsapp korban diambilalih.
Pada Jumat (1/11), sumber yang mengetahui penyelidikan internal Whatsapp mengatakan sebagian besar korban peretasan adalah pejabat tinggi atau perwira militer dari 20 negara di lima benua. Kebanyakan negara-negara itu sekutu AS.
Hal ini menunjukkan adanya peningkatkan peretasan telepon pintar pejabat pemerintah. Serangan siber ke Whatsapp kali ini dapat menimbulkan konsekuensi politik dan diplomatik.
Pada Selasa (29/10) lalu Whatsapp mengajukan gugatan terhadap pengembang alat peretasan asal Israel, NSO Group. Facebook sebagai perusahaan induk Whatsapp menuduh NSO Group membangun dan menjual platform peretasan yang mengeksploitasi kecacatan dalam server Whatsapp.
Alat itu membantu klien NSO Group untuk meretas sekitar 1.400 nomor Whatsapp dari 29 April sampai 10 Mei 2019. Jumlah nomor telepon Whatsapp yang diretas dapat lebih tinggi lagi.
Pengacara hak asasi manusia yang bermarkas di London juga menjadi korban peretasan. Pengacara itu menunjukkan foto yang memperlihatkan ada orang yang mencoba merentas teleponnya sejak 1 April lalu.
Belum diketahui siapa yang menggunakan perangkat lunak itu. NSO Group mengaku hanya menjual teknologi mereka ke pemerintah.
Orang yang terlibat dalam penyelidikan peretasan ini mengatakan beberapa korban berada di AS, Uni Emirat Arab, Bahrain, Meksiko, Pakistan dan India. Belum diketahui apakah pejabat dari negara-negara itu yang menjadi korban perentasan.
Beberapa warga India secara terbuka telah mengaku sebagai korban peretasan. Mereka yang mengaku menjadi korban antara lain jurnalis, akademisi, pengacara dan pembela komunitas Dalit di India.
"(Kami) tidak dapat mengungkapkan siapa atau bukan siapa yang menjadi klien atau mendiskusikan pengguna teknologi ini," kata NSO dalam pernyataannya.
Sebelumnya mereka mengaku tidak melakukan kesalahan apa pun. NSO berdalih teknologi mereka hanya untuk membantu pemerintah untuk menangkap teroris dan penjahat.
Peneliti keamanan siber telah meragukan klaim itu selama bertahun-tahun. Menurut mereka produk-produk NSO digunakan untuk berbagai keperluan dan target. Termasuk para pengunjuk rasa di negara-negara otoritarian.
Lembaga swadaya masyarakat yang membantu Whatsapp mengidentifikasi para korban perentasan, Citizen Lab mengatakan sekitar 100 orang korban perentasan adalah tokoh masyarakat sipil seperti jurnalis dan tokoh oposisi, bukan penjahat. Peneliti senior Citizen Lab John Scott-Railton tidak terkejut bila pejabat pemerintah juga menjadi korban.
"Sudah menjadi rahasia umum banyak teknologi yang disebut demi penyelidikan penegakan hukum digunakan untuk memata-matai negara lain atau untuk kepentingan politik," katanya.