REPUBLIKA.CO.ID, Dessy Suciati Saputri, Rizkyan Adiyudha, Arif Satrio Nugroho, Febryan A, Zainur Mashir Ramadhan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (1/11) pekan lalu menegaskan tak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi berlasan, dirinya menghormati proses uji materi yang masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kita melihat bahwa sekarang ini masih ada proses uji materi di MK. Kita harus menghargai proses-proses seperti itu," ujar Jokowi saat berbincang dengan awak media di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (1/11).
Menurutnya, dalam bertata negara juga diperlukan etika dan sikap sopan santun. Sehingga jika UU KPK masih diuji di MK, maka pemerintah tak perlu mengeluarkan keputusan lainnya.
"Jangan ada, orang yang masih berproses, uji materi kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain. Saya kira kita harus tahu sopan santun dalam bertatanegaraan," jelas Jokowi.
Pernyataan di atas menjadi respons terbaru dan berbeda dari Jokowi atas desakan dari kalangan masyarakat sipil hingga mahasiswa. Padahal, saat marak terjadinya gelombang unjuk rasa mahasiswa dan pelajar beberapa waktu lalu, Jokowi pernah berjanji mempertimbangkan penerbitan Perppu KPK.
Sikap Jokowi ini menjadi sejalan dengan DPR dan partai politik pendukung UU KPK versi revisi. Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengungkapkan, DPR telah meminta Presiden Jokowi untuk tidak menerbitkan Perppu guna membatalkan UU KPK hasil revisi.
Arsul berpendapat, seyogiyanya semua pihak melihat lebih dulu bagaimana KPK berjalan di bawah UU yang baru. Dia mengatakan, Perppu sebaiknya baru dibicarakan jika nanti ada hambatan-hambatan serius yang dihadapi KPK akibat ketentuan di UU hasil revisi.
"Perppu itu hanya patut dikeluarkan jika karena terbitnya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU KPK itu membuat KPK tidak bisa menjalankan tugas dan kewenangannya dalam pemberantasan korupsi," katanya.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menyatakan, DPR tak mau ikut campur soal keputusan Presiden Jokowi yang tak mau menerbitkan Perppu KPK. DPR menilai hal itu menjadi urusan Jokowi.
"Itu urusan presiden, kita tidak bisa campur. Nanti saja kita lihat. Kalau UU sudah ada, kan Perppu ada syaratnya, syarat-syaratnya untuk keluarkan Perppu kan ada syaratnya," ujar Azis.
Dukungan Perppu KPK
Sikap Presiden mengecewakan
Kalangan akademisi mempertanyakan konsistensi Presiden Jokowi dalam keberpihakannya dalam pemberantasan korupsi jika tetap menolak menerbitkan Perppu KPK. Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Yogyakarta, Oce Madril mengatakan, seharusnya presiden tak mengulur-ulur waktu penerbitan beleid pengganti dari UU KPK 19/2019 tersebut.
“Saya melihat sikap Presiden ini sangat mengecewakan,” kata Oce saat dihubungi Republika dari Jakarta, Jumat (1/11).
Adapun, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana beranggapan, pihaknya telah memprediksi bahwa Presiden Jokowi tidak akan menerbitkan Perppu KPK. Sebab, sejak jauh hari, indikasi dari Presiden dan DPR untuk melemahkan KPK sudah terkonfirmasi.
“Dan presiden rasanya juga tidak mengakomodir suara publik, yang selama ini sudah cukup sering menyuarakan bahwa opsi paling tepat adalah melalui Perppu,” kata dia ketika dikonfirmasi Republika, Jumat (1/11).
Ditanya efek dari tidak adanya Perppu KPK, Kurnia menjelaskan, ada pertanda buruk bagi nasib KPK untuk lima tahun ke depan. Pasalnya, jika Perppu tidak ada, Presiden akan menjaring anggota Dewan Pengawas KPK, yang mana konsep tersebut memang ditolak secara utuh oleh ICW.
“Kita sedari awal juga memang sudah menolak konsep Dewan Pengawas, karena kalau mengacu pada UU KPK yang baru, kewenangan Dewan Pengawas terlalu berlebihan,” kata dia.
Ke depannya, Dewan Pengawas akan berwenang memberikan izin atau tidaknya pada suatu tindakantindakan penyelidikan, penggeledahan dan upaya lainnya yang dilakukan KPK. Siapapun yang dipilih menjadi anggota Dewan Pengawas oleh presiden, ICW menganggapnya sebagai kekeliruan.
“Dalam konsep kelembagaan anti korupsi, yang dibutuhkan hari ini bukan kebutuhan kelembagaan dewan pengawas. Dan memang, konsep antikorupsi di manapun adalah membangun sistem pengawasan internal,” kata dia.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut Indonesia saat ini telah resmi berada dalam rezim yang dinamakan Neo Orde Baru. Sebab, sejumlah keputusan politik Jokowi, terutama dengan tidak menerbitkan Perppu KPK, telah membuka peluang besar bagi praktik megakorupsi.
Menurut Asfi, keputusan Jokowi untuk tidak mengeluarkan Perppu KPK harus dilihat dalam lanskap politik yang luas, tak hanya soal isu pemberantasan korupsi. Sebab, pelemahan KPK disertai dengan dua tindakan lain.
Pertama, kata dia, adalah dengan dilakukannya tindakan represif oleh negara dengan menggunakan aparatnya. Di mana terjadi penangkapan peserta aksi demonstrasi yang menolak UU KPK.
Kedua, pelemahan kuatan politik oposisi. Salah satunya, ujar Asfi, dengan dikeluarkannya Perpu Ormas yang membuat pemerintah bisa memeberengus kekuatan sipil yang tak sejalan dengan agendanya. "Pelemahan kekuatan politik oposisi dari parpol juga dilakukan dengan bergabungnya partai oposisi ke pemerintahan," kata Asfi.
Menurut Asfi, dua tindakan itu dan dilemahkannya KPK adalah jalan masuk untuk terjadi korupsi besar-besaran sebagaimana terjadi pada Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
"Orde Baru itu sebetulnya adalah cerita korupsi yang luar biasa yang dijalankan oleh sistem negara itu sendiri atau pemerintah. Untuk melaksankan mega korupsi itu dilakukanlah pelemahan politik warga ataupun politik dari parpol oposisi dan tindakan represif," papar Asfi.
Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bekerja meski sejumlah wewenangnya sudah diamputasi oleh UU Nomor 19/2019 tentang Perubahan UU KPK. Sekecil apa pun wewenang yang tersisa harus dimanfaatkan KPK semaksimal mungkin.
Direktur Pusako, Feri Amsari mengimbau agar KPK dan semua pihak yang mendukung upaya pemebrantasan korupsi untuk tidak putus asa. “Kecewa sebentar boleh, tapi putus asa jangan. KPK harus menggunakan sekecil apa pun kewenangannya untuk memberantas korupsi,” kata Feri di Jakarta, Ahad (3/11).