REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan agar pembuat undang-undang mengkaji kembali sistem pelaksanaan pilkada secara langsung. Pada Rabu (6/11) kemarin, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan, pilkada langsung lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
Menurut Kemendagri, pemilihan umum serentak hanya ditafsirkan sebagai pelaksanaan pemilu yang dilakukan bersamaan, bukan sistemnya. Dengan begitu, sistem pilkada langsung ataupun tidak langsung dengan dipilih DPRD kemungkinan masih dapat diterapkan.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik mengatakan, sejumlah daerah sangat memungkinkan untuk dikembalikan pada DPRD dalam menentukan kepala daerah. "Tergantung daerahnya. Kayak Jakarta, Jakarta kan sudah maju, enggak mungkin DPRD lagi. Tapi kalau Papua, mungkinkah kembali ke DPRD lagi? Mungkin saja. Atau, di daerah-daerah kepulauan yang kalau dengan pilkada langsung cost-nya tinggi sekali. Bisa gak pakai DPRD? Bisa saja, why not. Sampai mereka siap," tutur Akmal Malik, di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (7/11).
Menurut Akmal, Mendagri Tito menginginkan ada sistem pilkada yang asimetris. Dengan regulasi asimetris itu, artinya kebijakan yang diberlakukan tidak sama antara satu daerah dan daerah yang lain. "Mengapa? Kualitas demokrasi antara satu daerah dan daerah yang lain kan berbeda-beda," kata dia.
Ia mengatakan, kebijakan asimetris ini menjadi salah satu solusi untuk mengurangi biaya politik pada saat pilkada. Sebab, Kemendagri telah melakukan evaluasi seorang calon kepala daerah setidaknya harus mengalokasikan dana sekitar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar, bahkan ada yang lebih dari itu. "Itu mengapa Pak Menteri mengatakan mudharatnya itu kalau pilkada berbiaya tinggi banyak mudharatnya. Bukan kita mengatakan pilkada langsungnya yang salah. Tetapi, ada sistem yang membutuhkan biaya tinggi," ujar Akmal menjelaskan.
Pendapat Kemendagri ini juga diamini pakar Otonomi Daerah Indonesia Prof Djohermansyah Djohan. Berdasarkan kajian tim Institut Otonomi Daerah pada 2018 bahwa Indonesia tak cocok melaksanakan sistem pilkada langsung secara serentak. "Dari studi yang saya lakukan itu untuk Indonesia ini tidak cocok diseragamkan, itu tidak cocok semuanya langsung, itu tidak cocok," ujar Djohermansyah saat dihubungi Republika, Kamis (7/11).
Ia menjelaskan, hal itu tidak cocok karena karakteristik wilayah Indonesia yang sangat luas dengan banyak pulau-pulau serta jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa. Ditambah pula dengan karakterisik pemilih atau masyarakat Indonesia yang masih berpendidikan rendah dan berpenghasilan kurang secara nasional.
Menurut Djo, seharusnya pilkada di Indonesia mengadopsi cara pemilihan yang tidak seragam. Artinya, pilkada membuka opsi sistem pemilihan langsung dan tidak langsung yang sama-sama demokratis dengan memperhatikan karakteristik wilayah dan pemilih di masing-masing daerah di Indonesia.
"Jadi, jangan kita seragamkan semua. Jadi, di daerah yang sudah maju itu, misalnya, kota-kota itu kan pendidikan cukup baik kemudian pendapatan masyarakat cukup tinggi, kesadaran politik rakyat cukup baik, melek politik karena akses informasinya juga banyak terbuka, nah itu monggo dijalankan pemilihan secara langsung," kata dia menjelaskan.
Sektor pendidikan dan pendapatan warga dianggap menjadi faktor yang menentukan keberhasilan suatu pemilihan. Ia juga menyebutkan, Indonesia menggelar pilkada langsung sejak 1 Juni 2005. Selama 14 tahun hingga terakhir Pilkada 2018, pemilihan sudah dilakukan sebanyak 1.567 yang tersebar di berbagai daerah.
Dari 1.567 itu, Djohermansyah memiliki data, terdapat 421 kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota beserta para wakilnya terjerat tindak pidana hukum, termasuk tindak pidana korupsi. Padahal, daerah otonomi di Indonesia berjumlah 542 daerah.
Distribusi logistik pilkada (ilustrasi).
Belum disepakati
Usulan Mendagri terkait dikajinya kembali pilkada langsung ini masih mendapat sikap beragam dari wakil rakyat di DPR. Anggota DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menyarankan pemerintah melakukan penelitian empiris terkait manfaat positif dan negatif pilkada langsung sebelum pemerintah dan DPR meng ambil langkah kebijakan.
"Termasuk politik hukum baru, misalnya pilkadanya diubah jadi pilkada tidak langsung. Toh, ini tidak kemudian membuat pilgub, pilbup, pilwakot kemudian diubah jadi tidak langsung semua," kata Arsul.
Anggota DPR Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid juga meminta pemerintah perlu mengkaji kembali terkait manfaat pilkada langsung. Ia mengungkapkan, wacana serupa pernah muncul di pemerintahan periode kedua Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahkan sudah disahkan dalam undang-undang.
Namun, SBY mengeluarkan perppu dan mengembalikan pilkada tidak langsung menjadi pilkada langsung. "Kalau sekarang mau diini kan (diwacanakan) lagi, ya silakan diajukan lagi nanti dibahas di DPR," ujarnya.
Sementara, anggota DPR Fraksi Golkar Ace Hasan Syadzily justru menilai pilkada langsung banyak hal positifnya. "Ya, tentu (banyak) positif nya, karena apa? Karena, suara rakyat kanbisa terejawantahkan secara langsung," kata Ace.
Menurut dia, pilkada tidak langsung justru merupakan sebuah kemunduran bagi bangsa Indonesia. Ia menegaskan, Golkar konsisten terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung. (mimi kartika/febrianto adi saputro, ed:agus raharjo)