REPUBLIKA.CO.ID, LA PAZ -- Pengunduran diri presiden dan wakil presiden Bolivia mendapatkan banyak tanggapan dari berbagai negara. Beberapa menentang sikap oposisi yang melakukan kudeta dan yang lainnya mendorong pemilihan ulang yang lebih terbuka.
Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel Bermudez mengutuk kudeta di Bolivia setelah kabar pengunduran diri Evo Morales dan wakilnya García Lineran pada Ahad (10/11). Dia menyalahkan kudeta yang dilakukan untuk menyebarkan kekerasan.
"Kami mengutuk strategi kudeta oposisi yang telah melancarkan kekerasan di Bolivia, telah menyebabkan kematian, ratusan luka-luka dan ekspresi rasialisme terhadap penduduk asli. Kami mendukung Evo Morales," kata Bermúdez melalui Twitter.
Kementerian Luar Negeri Brasil menyatakan keprihatinan mendalam dengan penyimpangan besar dalam pemilihan yang dilakukan pada 20 Oktober lalu. Mereka merujuk pada hasil laporan oleh Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) yang melakukan audit pada hasil perolehan suara.
"Brasil menganggapnya berkaitan dengan seruan untuk pemilihan umum baru sebagai jawaban atas protes yang sah dari rakyatnya dan rekomendasi dari OAS, setelah menemukan penyimpangan yang serius," kata pernyataan itu.
Sedangkan Amerika Serikat (AS) melalui Departemen Luar Negeri menyatakan, rakyat Bolivia berhak atas pemilihan yang bebas dan adil sesuai dengan konteks konstitusi negaranya. Untuk itu, AS menyerukan, agar seluruh masyarakat Bolivia menahan diri dari kekerasan selama waktu yang masih tegang terjadi.
"Dan kami akan terus bekerja dengan mitra internasional kami untuk memastikan bahwa demokrasi dan tatanan konstitusional Bolivia bertahan," ujar penyataan Departemen Luar Negeri AS.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pun memuji audit OAS. Dia mengatakan, AS mendukung pemilihan baru dan pemasangan dewan pemilihan baru.
"Untuk mengembalikan kredibilitas ke proses pemilihan, semua pejabat pemerintah dan pejabat organisasi politik yang terlibat dalam pemilu 20 Oktober yang cacat harus menyingkir dari proses pemilihan," kata Pompeo
OAS merilis laporan yang merinci serangkaian dugaan penyimpangan dalam pemilihan di Bolivia. Masalah yang timbul dalam penentuan kemenangan kembali Morales, seperti kegagalan dalam masalah pemungutan suara, perubahan dan pemalsuan materi pemilihan umum, pengalihan data ke server yang tidak sah, dan manipulasi data yang semuanya berdampak pada penghitungan suara resmi.
"Manipulasi terhadap sistem komputer (digunakan dalam pemilihan) sedemikian besarnya sehingga mereka harus diselidiki secara mendalam oleh Negara Bolivia untuk sampai ke dasar (masalah ini)," kata OAS.
Laporan OAS mengatakan, pemungutan suara Oktober harus dibatalkan setelah menemukan manipulasi yang jelas dari sistem pemungutan suara. Beberapa jam setelah jajak pendapat ditutup, hasil awal menunjukkan Morales sedikit di depan lawannya, Mesa.
Margin yang ketat akan mendorong pemilihan putaran kedua di bulan Desember. Oposisi dan pengamat internasional menjadi curiga setelah pejabat pemilu menghentikan penghitungan sekitar 24 jam tanpa penjelasan. Ketika penghitungan dilanjutkan, suara untuk Morales telah melonjak secara signifikan. Kondisi itu membuat kemenangan Morales dipertanyakan, dengan hasil keunggulan lebih dari 10 poin atas rival utamanya Carlos Mesa.
Secara statistik, OAS melihat, tidak mungkin Morales dapat mengamankan margin 10 persen poin kemenangan yang diperlukan untuk tidak masuk pada pemilihan putaran kedua. Pemilihan ulang sangat disarankan untuk dilakukan segera dengan Badan pemilihan yang baru harus segera dibentuk.