REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia menuding oposisi Bolivia memicu gelombang kekerasan di negara Amerika Selatan itu, Senin (11/11). Rusia melihat upaya Pemerintah Bolivia untuk mendorong agar dialog tercipta telah dikalahkan oleh upaya kudeta.
Presiden Bolivia Evo Morales menyatakan mundur dari jabatannya guna meredakan kekerasan yang telah mendera negara itu sejak pemilihan berakhir dengan sengketa, Ahad (10/11).
Pada saat yang sama, Morales memicu kekhawatiran kekerasan akan bertambah parah. Dia mengatakan ia adalah korban kudeta dan terancam ditangkap.
Dalam pernyataan, Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan khawatir melihat keadaan di Bolivia. Karena itu, Kemenlu Rusia mengimbau semua kekuatan politik di negara itu menggunakan akal sehat dan bertindak dengan penuh tanggung jawab.
Pengunduran diri Morales pun diikuti oleh beberapa pejabat lainnya, termasuk wakil presiden Garcia Linera dan kepala senat Adriana Salvatierra. Akan terjadi kekosongan kekuasaan di negara tersebut, mengingat mekanisme hukum menyatakan dengan tidak adanya presiden dan wakil presiden, kepala senat akan mengambil alih sementara.
Salvatierra pun ikut melepaskan jabatannya setelah pengumuman Morales. Satu-satunya pejabat lain yang didaftarkan oleh konstitusi sebagai penggantinya, kepala majelis rendah, pun sudah mengundurkan diri.
Selain itu, kepala Mahkamah Pemilihan Tertinggi Bolivia Maria Eugenia Choque mengundurkan diri setelah rilis temuan Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) atau lembaga melakukan audit suara suara dari pemilihan 20 Oktober. Kantor jaksa agung mengatakan, akan menyelidiki hakim pengadilan untuk kemungkinan penipuan dan polisi telah menahannya bersama dengan 37 pejabat lainnya atas dugaan kejahatan pemilu.