REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyarankan agar pemerintah lebih mengedepankan proses pencegahan praktik manipulatif dan koruptif dalam transfer dana desa. Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, lembaganya menduga kasus desa fiktif tak hanya terjadi di satu provinsi.
Menurut Febri, KPK menyarankan agar pemerintah seharusnya lebih cermat dan teliti terkait keberadaan desa-desa ini. “Ini warning (peringatan) saja untuk semua pihak agar lebih teliti dalam praktik-praktik mencegah terjadinya korupsi,” ujar Febri. KPK, kata dia, tetap memantau proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan kepolisian. Demikian juga jika ada keterlibatan Kejaksaan dalam pengungkapan desa bermasalah dan fiktif itu.
Febri mengatakan, hasil penyisiran KPK baru menemukan dugaan penyimpangan dana desa tersebut, terjadi di satu provinsi, yakni di Sulawesi Tenggara. Meski begitu, KPK meyakini, dugaan desa bermasalah dan fiktif dari wilayah lain juga ada. Ia kembali mengingatkan agar proses investigasi dan penyisiran yang dilakukan oleh kementerian-kementerian terkait, punya dampak yang baik untuk pencegahannya.
Terkait kasus di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menurut Febri belum ada keputusan untuk mengambil alih penyidikan kasus tersebut dari Kepolisian. “Posisi KPK saat ini, berkordinasi dan supervisi perbantuan,” ujar Febri di Gedung KPK, Jakarta Selatan (Jaksel), Selasa (12/11).
Ia mengatakan, yang terpenting KPK sudah melakukan pelaporan kepada pemerintah terkait hasil penyisiran desa-desa yang menerima transfer alokasi dari pusat tersebut. Febri mengatakan, dari hasil penyisiran tersebut, KPK menemukan 34 desa bermasalah. “Tiga (desa) di antaranya fiktif,” ujar dia.
Tiga desa tersebut, yakni Desa Morehe di Kecamatan Uepai, Desa Ulu Meraka di Kecematan Lambuya, dan Desa Uepai di Kecematan Uepai. Tiga desa tersebut, menurut KPK, fiktif karena ada wilayah dan teritorial, namun tak ada ditemukan dasar hukum pembentukannya. Kekosongan hukum pembentukan desa tersebut yang membuat tiga wilayah tersebut seharusnya tak masuk dalam daftar tujuan transfer dana desa dari Jakarta.
Sedangkan 31 desa lainnya, kata Febri dibentuk dengan cara-cara yang manipulatif. Yaitu dengan cara memundurkan tanggal keputusan pembentukan desa oleh pemerintahan daerah (pemda) dari hari terbitnya intstruksi larangan pembentukan desa baru oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Sehingga ada terjadi peluang penyalahgunaan dari dana desa yang seharusnya diperuntukan,” ujar Febri. Ia mengakui, peluang tersebut memberi dugaan praktik yang koruptif.
Terpisah Kemendagri memundurkan jadwal pengumuman hasil investigasi dan validasi desa fiktif di Sultra. Kapuspen Kemendagri Bahtiar mengatakan, tim yang diterjunkan ke tiga desa fiktif belum kembali ke Jakarta. “Tadinya memang akan kita sampaikan hari ini (12/11). Namun hasil verifikasi di lapangan, belum akan diumumkan,” ujar Kabag Humas Kemendagri Aang Witarsa.