REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Antara
Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survei kepercayaan publik terhadap lembaga negara termasuk Presiden. Hasil survei mendapati bahwa, kepercayaan masyarakat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini tercatat turun. Pengurangan terjadi setelah dia terpilih sebagai kepala negara.
Peneliti LSI, Adie Alfaraby mengungkapkan, turunnya tingkat kepercayaan itu disebabkan berbagai macam alasan. Salah satunya, dia mengatakan, sikap Presiden Jokowi berkenaan dengan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga belum adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK.
"Makanya ada penurunan trust itu. Kemudian termasuk faktor-faktor lain seperti kebijakan-kebijakan yang kurang populis di mata publik termasuk KPK memang berpengaruh," kata Adie Alfaraby di Jakarta, Rabu (13/11).
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan, LSI mencatat adanya penurunan sekitar 6,3 persen kepercayaan publik terhadap Presiden pascapilpres 2019. Adjie memaparkan, sebesar 75,2 persen menyatakan masih percaya dan sebesar 18,8 persen menyatakan tidak percaya.
Angka itu cenderung berkurang dibanding tingkat kepercayaan publik terhadap presiden sebelum pemilihan kepala negara dilaksanakan. Pada survei yang dilakukan LSI sebelum pelaksanaan Pilpres 2019 sebesar 81,5 persen percaya presiden bekerja untuk rakyat dan 14,2 persen menyatakan sebaliknya.
"Melemahnya kepercayaan akan menyebabkan kelemahan pada legitimasi lembaga negara dan kebijakan yang akan diambil karena ketika ada ketidakpercayaan itu akan mengganggu demokrasi kita ke depan," katanya.
Sebelumnya, survei dilakukan dua kali yakni sebelum dan setelah pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019 lalu. Survei pra dan pascapilpres 2019. Survei-survei dilakukan terhadap 1.200 populasi pemilih nasional di 34 propinsi dengan metode wawancara langsung. Riset memiliki margin of error sekitar 2,9 persen.
Adjie mengatakan, adanya pengurangan tingkat keeprcayaan itu juga disebabkan masifnya narasi negatif pada Pilpres 2019. Dia menilai, kampanye negatif yang menyerang kredibilitas aneka lembaga termasuk Presiden itu beredar di publik baik dalam bentuk pernyataan tokoh tertentu maupun bahan kampanye yang diedarkan.
Begitu juga dengan banyaknya kasus penangkapan korupsi terhadap kepala daerah. Adjie mengatakan, penangkapan tersebut menurunkan berbagai citra lembaga negara. Begitu juga dengan maraknya kampanye hitam yang beredar di media sosial.
Penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi dianggap wajar oleh partai pengusung Jokowi. Kemerosotan itu dinilai sebagai kejenuhan publik atas proses politik yang terjadi setelah pemilihan presiden dilaksanakan dan tidak berpengaruh pada kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
"Saya lihat bukan di sana toh KPK sendiri juga mengalami penurunan dan semua mengalami itu, ini lebih kepada kejenuhan publik dalam semua level," kata Ketua DPP Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Willy Aditya di Jakarta, Rabu (13/11).
Dia mengatakan, kepercayaan publik itu merupakan hal yang dinamis sehingga kerap berubah-ubah. Menurutnya, tingkat kepercayaan terhadap presiden yang masuh berada di level sekitar 70 persen itu masih berada di tingkatan yang cukup bagus meski tidak bisa dibilang sangat bagus.
Willy meminta Presiden dan lembaga negara lainnya memperhatikan penurunan itu dan segera menormalisasi serta kemudian meningkatkan kinerja bersamaan dengan fungsi pelayanan publik mereka. Anggota Komisi I DPR RI itu mengatakan, hal tersebut dilakukan agar tingkat kepercayaan publik dapat segera pulih atau bahkan meningkat.
Peneliti LSI, Adjie Alfaraby.
Lebih rendah dari KPK
Hasil riset yang dilakukan LSI mendapati bahwa tingkat kepercayaan publik kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih tinggi dibanding Presiden. Berdasarkan hasil survei tersebut, tingkat kepercayaan publik kepada lembaga antirasuah itu sebesar 85,7 persen.
Adapun, tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi sebesar 75,2 persen. Artinya, ada selisih besaran tingkat kepercayaan 10,5 persen antara KPK dan Presiden.
Kendati, tingkat kepercayaan terhadap KPK cenderung berkurang jika dibanding sebelum pelaksanaan Pilpres 2019, berdasarkan survei yang dilakukan LSI pada Juli 2018, sebesar 89 persen masyarakat percaya bahwa lembaga antirasuah tersebut bekerja untuk kepentingan rakyat.
Adjie mengatakan, turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap KPK turut dipengaruhi atas penetapan Inspektur Jendral Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru oleh Komisi III DPR RI. Revisi Undang-Undang Nomor 30 tentang KPK, sambung Adjie, juga menyumbang menciutnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
"Saya pikir untuk saat ini memang berpengaruh terhadap trust KPK yang menurun, artinya kan itu kombinasi dari banyak faktor," kata Adji .
Tak hanya KPK, Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengalami penurunan tingkat kepercayaan publik. Adjie mengatakan, 76,4 persen masyarkat masih percaya pada MK pada Juli 2018. Namun, dia melanjutkan, tingkat kepercayaan itu menurun menjadi 70,2 persen usai pelaksanaan pemilihan kepala negara pada 2019 lalu.
"Mereka yang tidak percaya bahwa MK bekerja untuk kepentingan rakyat cenderung naik dari 10 persen saat prapilpres, menjadi 17,4 persen pascapilpres 2019," katanya.
Menurut Adjie, pemerintah perlu menyikapi serius penurunan yang terjadi di beberapa lembaga negara tersebut. Dia mengimbau agar jangan sampai kemampuan lembaga negara untuk menjaga atau bahkan mengembalikan tingkat kepercayaan itu semakin mengerdil sehingga terus merosot.
Selain KPK dan MK, tingkat kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara lainnya juga turun, seperti DPD dari 68,7 persen pada bulan Juli 2018 menjadi 64,2 persen pada bulan September 2019 atau pascapilpres. Trust publik terhadap DPR dari 65 persen pada survei Juli 2018, lanjut dia, menurun menjadi 63,5 persen pada bulan September 2019.
Begitu pula dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri dari 87,7 persen menjadi 72,1 persen, TNI dari 90,4 persen menjadi 89 persen, hingga KPU dari 82,3 persen menjadi 78,1 persen. Meski demikian, Adjie menyebutkan hasil survei tersebut baru sebatas potret atas efek terhadap suatu peristiwa, yakni kontestasi pilpres dan pilkada, atau belum bisa dikatakan sebagai tren.