REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arwani Thomafi mengatakan, pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung terus memunculkan polemik. Menurut dia, saat ini Pilkada langsung kurang merepresentasikan kedaulatan rakyat, tetapi justru kedaulatan uang.
"Yang kita temukan justru bukan kedaulatan rakyat tetapi adalah kedaulatan Modal atau kedaulatan Uang," kata Arwani di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Kamis (14/11).
Arwani menyebut, sudah menjadi rahasia umum bahwa siapapun yang berkontestasi sebagai calon kepala daerah maka ia akan menghabiskan dana miliaran rupiah. "Untuk tingkat bupati saya memperhatikan untuk DPT yang sekitar 500-an ribu itu Rp 20 miliar, Kalau lebih dari itu, satu juta misalnya ya tinggal mengalihkan," ucap Arwani.
Di sisi lain, kata Arwani, masyarakat juga kerap kali masih bisa 'dibeli'. Ia menyebut, ada sejumlah lapisan masyararakat yang hanya mau berpartisipasi dalam pemilu karena adanya upah.
Hal ini, kata dia, semakin menunjukkan karakteristik kedaulatan modal. "Memang luar biasa, banyak calon (kepala daerah) mengeluh, kalau tak pakai uang, susah," karta dia.
Arwani melanjutkan, Pilkada yang seharusnya menjadi kanal kedaulatan rakyat, kini justru tersumbat, oleh kepentingan segelintir orang. Karena itu, Arwani pun menekankan perlunya evaluasi pilkada langsung.
Arwani menambahkan, evaluasi dan perbaikan sistem pemilu pun sudah disepakati dan akan menjadi prioritas. Dalam evaluasi ini, Arwani menegaskan, Pilkada langsung belum tentu dihapus.
"Teman-teman di komisi II dalam rapat internal kemarin mencoba untuk berpikir bahwa semua regulasi soal politik, pemilu akan diselesaikan sebelum tahun 2022 artinya 2021 sudah selesai," ujar dia menambahkan.