Jumat 15 Nov 2019 17:23 WIB

Pengamat: Intelijen Perempuan Perlu Diperbanyak

Penambahan intelijen perempuan ini untuk mendeteksi terorisme.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Intelijen, ilustrasi
Intelijen, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti kajian strategis intelijen dari Universitas Indonesia Ridwan Habib menilai intelijen perempuan seharusnya direkrut lebih banyak lagi agar bisa mendeteksi pergerakan cikal-bakal terorisme di kalangan perempuan. Menurutnya, saat ini sistem deteksi lebih banyak melibatkan intelijen laki-laki.

"Secara praktikal, harus ada pola perubahan pada sistem deteksi intelijen yang dilakukan kepolisian. Misalnya dengan melibatkan lebih banyak lagi intelijen wanita. Lebih banyak lagi perekrutan agen wanita, supaya bisa masuk ke komunitas-komunitas mereka," katanya kepada Republika.co.id, Jumat (15/11).

Baca Juga

Ridwan mengatakan, harus diakui bahwa jumlah intelijen perempuan terutama intelijen antiteror itu lebih sedikit dibandingkan intelijen laki-laki. "Dan membuntuti pria itu lebih mudah daripada pertemuan-pertemuan wanita," tutur dia.

Apalagi, perencanaan hingga eksekusi terorisme, lanjut Ridwan, memang lebih memudahkan jika melibatkan perempuan. Sebab, dengan melibatkan perempuan, maka akan lebih menyulitkan intelijen mengidentifikasi berbagai potensi yang menjurus pada terorisme.

"Penggunaan wanita tentu lebih menyamarkan dalam upaya mencegah identifikasi yang dilakukan oleh aparat intelijen. Mereka jadi lebih leluasa bergerak dan pihak intelijen jadi lebih susah melakukan deteksi," ujarnya.

Selain itu, menurut Ridwan, perlu melibatkan influencer-influencer untuk membentengi kalangan perempuan dari pandangan-pandangan ekstremisme. Influencer tersebut bisa dari ustazah-ustazah yang populer dan memiliki banyak jamaah.

"Supaya tidak terpengaruh ideologi JAD (Jamaah Ansharut Daulah) atau ISIS itu. Karena yang bikin masyarakat yakin itu bukan pemerintah atau polisi, tapi harus dari influencer atau ustazah-ustazah populer yang selama ini mendapatkan simpati dari umat," imbuhnya.

Dia mengatakan, kalau yang berbicara itu humas Polri atau menteri, itu enggak masuk. Tapi kalau yang ngomong itu misalnya Mamah Dedeh yang sudah populer, akan berbeda, jadi ini saya kira pemerintah harus melibatkan mereka," tambah dia.

Maret lalu, peristiwa pengeboman di Sibolga, Sumatra Utara, melibatkan perempuan, yakni istri Abu Hamzah. Pelibatan perempuan dalam peristiwa lainnya juga terjadi pada aksi teror di Surabaya Mei 2018 lalu. Kemudian, Desember 2016 lalu, polisi menangkap perempuan dengan tuduhan merencanakan bom bunuh diri di Bali pada tahun baru 2017.

Sementara pada peristiwa terkini bom bunuh diri di Polrestabes Medan Sumatra Utara 13 November kemarin, polisi menyebut istri pelaku bom bunuh diri itu terpapar radikalisme lebih dahulu dibandingkan suaminya. Sang istri yang berinisial DA diduga menularkan paham radikalisme ke suaminya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement