REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Mimi Kartika, Antara
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavia mengaku menjadi salah satu pihak yang meminta agar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung untuk dievaluasi. Namun, ia menegaskan bahwa evaluasi bukan berarti kepala daerah dipilih oleh DPRD.
"Ini (evaluasi pilkada) saya sendiri pernah menyampaikan, tapi tidak pernah menyampaikan untuk tidak pernah kembali kepada DPRD, ini saya klarifikasi," ujar Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).
Ia menjelaskan, pilkada langsung memang meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memilih kepala daerah secara langsung. Namun, dalam proses penyelenggaraannya terdapat sejumlah dampak negatif.
Menurutnya, pilkada langsung bepengaruh kepada biaya tinggi dan rentan terjadinya korupsi. Selain itu, pilkada langsunh juga dapat menghasilkan ketegangan politik di sejumlah wilayah.
Salah satunya yang terjadi pada Pilkada Papua. Di mana berdasarkan pengalamannya, konflik yang terjadi antar suku menyebabkan pemilihan kepala daerah sempat tertunda cukup lama.
"Praktiknya setelah lebih dari sekian belas tahun, kita juga melihat ada dampak negatifnya. Ada potensi konfliknya, itu jelas. Saya sendiri sebagai mantan Kapolri, mantan Kapolda," ujar Tito.
Mantan Kapolri itu juga menyinggung soal pilkada langsung yang menyebabkan calon kepala daerah mengeluarkan biaya politik yang tinggi. Oleh karena itu, evaluasi diharapkan melewati proses kajian yang mendalam, agar pelaksanaannya nanti tak menimbulkan polemik.
"Sehingga usulan yang saya sampaikan adalah, bukan untuk kembali ke A atau ke B, tetapi adakan evaluasi. Tapi evaluasi bukan suatu yang haram menurut pendapat saya," ujar Tito.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung menilai ada empat opsi yang bisa diambil sebelum dilakukan evaluasi pilkada langsung.
"Komisi II DPR sepakat evaluasi pilkada langsung, dan kita bisa mengambil hipotesis sebelum melakukannya, ada empat opsi," kata Doli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (14/11) pekan lalu.
Pertama, menurut dia, terkait basis otonomi daerah, kalau dilihat dari basis ekonomi itu ada di kabupaten/kota. Karena itu, menurut dia, kalau memang benar konsekuen bahwa basis otonomi daerah ada di kabupaten/kota dikaitkan dengan mengembangkan demokrasi maka yang harus dipertahankan untuk melibatkan publik, yaitu di pilkada kabupaten/kota.
"Kalau kita bilang pemilihan langsung ya cukup hanya di kabupaten/kota saja karena provinsi itu adalah kepanjangan dari pemerintahan pusat dan sifatnya adalah koordinatif, itu bisa salah satu opsi," ujarnya.
Kedua, menurut dia, saat ini berkembang teori asimetris. Yakni, kalau alasan pilkada membuat masyarakat tidak rasional, lalu terbiasa dengan politik uang maka ada juga yang mengatakan coba kita lihat indeks demokrasi kita.
Menurut dia, ada yang berasumsi politik uang masif terjadi di daerah-daerah yang pendidikan masyarakatnya belum terlalu tinggi dan daerah pra-sejahtera. "Kalau begitu, di daerah-daerah perkotaan yang relatif pendidikannya lebih baik, tingkat kesehatan lebih tinggi, mungkin sudah bisa tetap dipertahankan pilkada langsung. Namun di daerah-daerah yang masih belum memenuhi, kita kembalikan ke DPRD," katanya.
Opsi ketiga, menurut dia, tetap dilakukan pilkada langsung, tetapi ada aturan yang secara spesifik harus dicari. Opsi keempat, menurut Doli, pemilihan dikembalikan ke DPRD, tetapi harus ada kajian sangat mendalam dengan alasan akademik sehingga mendapatkan satu keputusan yang tepat.
"Karena kita sesungguhnya harus mulai belajar mengambil satu keputusan, satu sistem yang kita pilih, bukan lagi untuk coba-coba. Kita pertahankan 15-20 tahun yang akan datang termasuk soal sistem pemilu yang akan kita sepakati," ujarnya.
Menyikapi wacana evaluasi pilkada langsung, Juru Bicara Kepresidenan, Fadjroel Rachman, pekan lalu memastikan, bahwa mekanisme pilkada langsung tidak akan berubah. Fadjroel menyampaikan, kepala daerah tetap akan dipilih secara langsung bukan melalui DPRD seperti yang diwacanakan.
"Pilkada langsung masih menjadi mekanisme pemilihan kepala daerah yang paling relevan di Indonesia. Pada dasarnya, sistem ini menciptakan kedekatan rakyat dan pemimpin daerah dalam proses pembangunan lokal," jelas Fadjroel di istana, Selasa (12/11).
Presiden, kata Fadjroel, juga berpandangan bahwa evaluasi pilkada sebaiknya ditujukan pada teknis penyelenggaraan pilkada. Maksudnya, evaluasi agar pilkada bisa menghapus praktik politik uang, menciptakan proses pemilihan yang efisien, sehingga pilkada tidak lekat dengan biaya tinggi.
"Teknis penyelenggaraan pilkada juga (harus) mampu mengatasi polarisasi sosial berkepanjangan di tengah masyarakat," kata Fadjroel.
Evaluasi pilkada langsung.
Parpol harus berbenah
Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem) mengatakan permasalah dalam pilkada tidak akan selesai jika partai politik (parpol) tidak membenahi diri. Pelaksanaan pilkada tak langung atau dikembalikan ke DPRD justru akan membatasi partisipasi politik warga dan akuntabilitas semakin terbatas.
"Pilkada langsung atau tidak langsung, kalau partainya tidak dibenahi tidak akan pernah menyelesaikan masalah, yang ada kembali kepada DPRD ruangnya semakin gelap," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada wartawan, Selasa (12/11).
Ia mengatakan, hal itu juga bisa memicu konflik, misalnya, mantan narapidana akan lebih mudah untuk terpilih. Menurutnya, masyarakat bisa saja memilih orang yang tidak sejalan dengan kehendak masyarakat
Kemudian, ketika masyarakat menolak karena tidak tersedia mekanisme formalnya, yang terjadi bisa menimbulkan tindakan kekerasan sebagai penyaluran ketidakpuasan. Selain itu, kalau pemerintah akan memutuskan pilkada asimetris atau sistem pilkada yang berbeda di daerah baik langsung maupun tidak, harus ada kajian yang mendalam.
Salah satunya, kata dia, pemerintah harus menyusun indikator untuk menentukan daerah melaksanakan pilkada langsung atau pilkada oleh DPRD. Penentuan indikator tersebut harus dilakukan terbuka, transparan, dan partisipatif, tidak bisa kemudian elitis dan eksklusif.
"Jangan istilahnya sapu rata semua daerah kemudian ingin tidak langsung karena ya, tadi kita tahu ternyata pilkada secara perlahan berhasil menjadi sumber rekruitmen politik nasional," kata dia.
Penyusunan indikator itu juga harus melibatkan para pemangku kepentingan terkait, partai politik, pemerintah, penyelenggara pemilu, masyarakat, tokoh masyarakat, dan media. Salah satu pertimbangannya, di beberapa negara terjadinya konflik karena keragaman tidak bisa didekati dengan pendekatan kontestasi elektoral.
"Tetapi harus ada pendekatan yang sifatnya lebih mengedepankan kearifan lokal, ini yang haruss dibuka ruang diskusi itu," tutur Titi.