REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif melontarkan kecaman atas dukungan pejabat Amerika Serikat (AS) terhadap pengunjuk rasa di Iran. Ia mengingatkan,kondisi ekonomi di Iran merupakan dampak langsung dari sanksi dan pemblokiran yang diterapkan AS atas negara tersebut.
Zarif menekankan, dukungan AS terhadap pengunjuk rasa merupakan pernyataan yang munafik. Pasalnya, menurut dia, sanksi ekonomi AS dengan dalih upaya produksi nuklir oleh Iran itu telah memutus akses warga Iran terhadap pangan dan obat-obatan murah.
“Rezim yang memblokir makanan dan obat-obatan untuk warga Iran, termasuk lansia dan mereka yang sakit, dengan cara terorisme ekonomi tak pantas menunjukkan dukungan untuk rakyat Iran. Tuan Pompeo (Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo) harus bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini,”kata Zarif pada Senin (18/11) malam seperti dilansir kantor berita Iran, IRNA.
Menlu Iran juga mengecam negara-negara Eropa seperti Jerman dan Prancis yang mengungkit-ungkit kerusuhan di Iran. “Mereka akan menanggung konsekuensi dari provokasi berbahaya ini,”kata dia.
Dalam sebuah cuitan di media sosial Twitter pada Sabtu (16/11), Menteri Luar Negeri AS Pompeo menyatakan dukungannya untuk warga Iran yang berunjuk rasa. “Seperti yang saya sampaikan satu setengah tahun lalu, ‘Amerika Serikat bersamamu,’”tulis Pompeo dalam akun Twitter resminya.
Cuitan itu mengingatkan dukungan AS atas aksi unjuk rasa yang terjadi di Iran pada 2017 lalu. Saat itu 22 orang dilaporkan tewas dalam unjuk rasa di puluhan kota Iran. Demonstrasi itu dipicu buruknya standar hidup dan tuntutan agar sejumlah petinggi negara tersebut mengundurkan diri.
Aksi unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM yang terjadi di berbagai kota Iran sejak akhir pekan lalu diwarnai penghancuran fasilitas publik dan pribadi. Seorang petugas kepolisian juga dilaporkan gugur dalam aksi unjuk rasa di Provinsi Kermanshah.
Kantor berita Farsnews melaporkan, dalam kerusuhan yang berlangsung sejak beberapa hari belakangan, pengunjuk rasa menyerang sejumlah bank, SPBU, truk pemadam kebakaran, toko-toko, dan sejumlah bangunan.
“Para pengunjuk rasa telah menyelewengkan rencana pemerintah merevisi harga bensin dan menimbulkan kerusakan berat di provinsi ini,”kara Gubernur Jenderal Kermanshah Houshang Bazvand seperti dilansir Farsnews, kemarin. Ia juga menyampaikan bahwa seorang petugas polisi, Mayor Javaheri, terbunuh dalam aksi unjuk rasa.
Kerusuhan yang berujung perusakan bangunan publik juga terjadi di beberapa daerah lain di Iran. Di Isfahan, puluhan bangunan publik termasuk bank-bank di wilayah itu dirusak. “(Sebanyak) 69 bank dirusak, 28 bus dibakar, gedung pemerintahan Isfahan juga diserang, dan dua markas pasukan sukarelawan juga dirusak,”kata Wakil Gubernur Isfahan Hossein Amiri, kemarin.
Ia menambahkan, dua stasiun telekomunikasi, dua pos polisi, tujuh SPBU, sejumlah kendaraan dinas, serta tiga rumah warga juga dirusak beberapa hari belakangan.
Sementara itu, seorang pejabat Garda Revolusi Iran mengumumkan bahwa aparat keamanan telah menangkap 150 pimpinan unjuk rasa di Provinsi Alborz, tak jauh dari Teheran. Menurut pejabat itu, para pimpinan unjuk rasa mengaku dibayar pihak tertentu dari luar neegri untuk melakukan perusakan fasilitas publik dan melakukan pembakaran.
Sejumlah pengunjuk rasa yang menyerang imam shalat Jumat di Provinsi Yazd, Ayatollah Nasseri Yazdi, pada Ahad (17/11) juga telah ditangkap. Para penyerang itu disebut sempat menodong Ayatollah Nasseri dengan pistol.
Kerusuhan yang terjadi di seantero Iran menyusul aksi unjuk rasa damai menolak rencana kenaikan harga BBM oleh Pemerintah Iran sejak akhir pekan lalu. Warga meradang setelah pengumuman pembatasan dan kenaikan harga bahan bakar sebesar 50 persen serta pembatasan yang mengizinkan warga membeli 60 liter bensin per bulan.
Sejumlah pengendara memarkir kendaraan mereka di tengah jalan sebagai bentuk protes kenaikan harga BBM di Isfahan, Iran, Sabtu (16/11).
Pemerintahan Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan, kenaikan harga bahan bakar bertujuan meningkatkan subsidi keluarga berpenghasilan rendah menjadi sekitar 2,55 miliar per tahun. Kebijakan itu untuk 18 juta keluarga berpenghasilan rendah di Iran.
Namun, banyak warga kelas menengah Iran yang marah dan putus asa terhadap kondisi perekonomian Iran yang terdampak sanksi AS. Kondisi ini membuat rakyat Iran meminta janji pemerintah yang menyatakan akan menambah lapangan pekerjaan dan investasi.
Perkiraan sementara dari intelijen Iran menyimpulkan, sedikitnya 87 ribu pengunjuk rasa ikut serta sejak Jumat (15/11) malam. Dari jumlah itu, 93 persen di antaranya merupakan laki-laki.
Farsnews melaporkan, sebagian besar pengunjuk rasa menyampaikan pendapat mereka dengan damai di pusat-pusat perkumpulan massa di tiap-tiap daerah. Namun, ada sebagian kecil dari massa yang kemudian melakukan perusakan. “Metode identik para perusuh menunjukkan bahwa mereka terlatih. Mereka sudah menantikan momen ini, tak seperti kebanyakan warga yang memang benar-benar terkejut dengan kenaikan harga BBM,”tulis laporan intelijen tersebut.
Laporan itu juga menunjukkan bahwa peserta aksi unjuk rasa berkisar dari 50 orang hingga 1.500 orang. Menurut laporan itu, unjuk rasa terjadi di 100 kabupaten/kota dari total 1.080 kabupaten/kota di Iran. Jumlah massa yang ikut serta maupun kerusakan yang ditimbulkan disebut melampaui kerusuhan pada 2018 Februari lalu.
Kebanyakan kasus perusakan terjadi di Khuzestan, Teheran, Fars, dan Kerman. Laporan itu menyatakan, sejumlah petugas polisi dan tentara terbunuh dalam aksi-aksi tersebut. Namun, laporan itu tak memerinci jumlahnya. Sebanyak seribu orang disebut telah ditangkap di berbagai daerah, sementara 100 bank dan 57 pertokoan besar dibakar. n fitriyan zamzami, ed: hasanul rizqa