REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tetap memasukkan larangan mantan narapidana korupsi dalam draf rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. KPU masih menunggu hasil harmonisasi PKPU tersebut dengan pendapat Kementerian Hukum dan HAM untuk melihat kemungkinan KPU mengatur larangan eks koruptor maju Pilkada 2020.
"Makanya kita lihat harmonisasi Kementerian Hukum dan HAM, kita akan lihat apakah pendapat dari semua pihak itu masih memungkinkan KPU memasukkan itu apakah diatur dalam cara yang lain supaya ketentuan ini bisa berlalu," ujar Ketua KPU RI Arief Budiman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, (20/11).
Ia mengatakan, harmonisasi itu masih dalam proses pembahasan dan pihak dari Kemenkum HAM sudah menyampaikan beberapa catatan. Menurut Arief, pelarangan mantan napi korupsi, KPU tentu melihat banyak fakta di lapangan termasuk argumentasi partai politik.
Ia menuturkan, partai politik menyampaikan KPU tak perlu memasukkan larangan itu ke dalam PKPU pencalonan. Sehingga, calon kepala daerah diserahkan sepenuhnya kepada para masyarakat yang akan memilih.
Partai politik juga, lanjut Arief, menyampaikan bahea kemungkinan orang yang sudah dihukum tidak akan melakukannya lagi. Namun, menurut Aried, fakta di lapangan ada kasus kepala daerah yang melakukan korupsi lagi setelah bebas dari penjara karena tindakan korupsi sebelumnya.
Di sisi lain, KPU juga memerhatikan putusan Mahkamah Agung terdahulu terkait larangan eks napi korupsi termasuk rapat dengar pendapat bersama Komisi II DPR RI. Jika harmonisasi telah selesai dengan berbagai masukkan, KPU baru akan memutuskan untuk melarang eks koruptor maju Pilkada 2020 atau tidak dalam PKPU.
Namun, Arief tetap berharap DPR dan pemerintah akan melakukan revisi Undang-Undang tentang Pilkada dalam waktu dekat ini menjelang pelaksanaan Pilkada 2020. Sehingga, larangan mantan narapidana kasus korupsi masuk ke dalam revisi Undang-Undang agar aturan itu berkekuatan hukum mengikat.
"Tapi yang mereka tidak setuju itu jangan diatur di KPU diatur di Undang-Undang, makanya KPU mendorong diatur di Undang-Undang. Kalau diatur di KPU itu dianggap belum cukup, walaupun PKPU melihat sebetulnya dari banyak regulasi bisa diatur di PKPU," kata dia.