REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyatakan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar masih terus dibahas. BPTJ menyatakan ERP yang rencananya akan akan diterapkan pada 2020 berpihak kepada masyarakat.
"Masyarakat tidak perlu resah karena pada saatnya nanti sebelum diimplementasikan, pasti akan didahului dengan sosialisasi dan uji coba," kata Kepala BPTJ Bambang Prihartono dalam pesan resminya kepada Republika.co.id, dikutip Kamis (21/11).
Bambang menjelaskan kebijakan ERP berpihak pada kepentingan masyarakat dengan prinsip berkeadilan. Ia mengatakan, ERP hanya dikenakan bagi kendaraan yang melewati koridor-koridor yang diberlakukan ERP dan tidak dikenakan untuk angkutan umum.
Besaran biaya yang dikenakan pun juga bergantung dari tingkat kemacetan yang terjadi. Ia mengatakan, semakin macet maka akan semakin besar pula biaya yang akan dikenakan.
“Jadi ERP bukan berarti kendaraan yang lewat harus membayar, namun kendaraan yang menyebabkan kemacetan pada ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya atau yang kita sebut dengan congestion charge,” ungkapnya.
Dengan demikian, Bambang menyebut, masyarakat dapat menentukan pilihan. Tetap menggunakan kendaraan pribadi dengan dikenakan biaya ERP atau berpindah menggunakan angkutan umum.
Bambang menambahkan, akibat kemacetan negara banyak mengalami kerugian. Berdasarkan data Bappenas 2017 kemacetan di Jakarta merugikan negara Rp 65,7 triliun rupiah/tahun. Angka tersebut tentu akan berdampak pada lingkup Jabodetabek.
Selain itu, ia menjelaskan, kemacetan juga mengakibatkan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya kian memburuk. Sehingga dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
“Kemacetan di Jabodetabek sudah menimbulkan banyak kerugian dan menurunkan kualitas hidup manusia dan lingkungan, oleh karena itu pemecahan masalah kemacetan butuh partisipasi semua pihak,” kata Bambang.