Kamis 21 Nov 2019 11:41 WIB

Takwil Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya

Takwil Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya

Takwil Imam Bukhari
Foto: Menachem Ali
Takwil Imam Bukhari

Oleh Menachem Ali, Dosen Philology Universitas 
Airlangga

Imam Bukhari (w. 256 H) dalam kitab Shahihnya juga menjelaskan redaksional ayat-ayat Quran. Pembahasan mengenai redaksional ayat-ayat Quran ini dalam Ilmu Tafsir disebut kajian مفردات (mufradat). Kajian mufradat itu akhirnya semakin matang di "tangan" Imam ar-Raghib al-Ishfahani (503 H) yang menjelaskan makna redaksional Quran secara terperinci.

Dalam QS Shaad 38:44, digunakan salah satu "mufradat" (مفردات) penting, yaitu kata خذ (khudz), lit. "ambillah/peganglah." Istilah خذ (khudz) ternyata selalu dikaitkan dengan keberadaan يد (yad), lit. "tangan" secara fisik.

Allah berfirman:

وخذ بيدك ضغثا فاضرب به ولا تحنث انا وجدنه صابرا نعم العبد انه اواب

("Dan ambillah/peganglah dengan tanganmu seikat rumput, maka pukullah dengan itu, dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya kamu dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya").

Sementara itu, dalam kitab Shahihnya, Imam Bukhari juga menjelaskan ayat terkait tindakan Dzat-Nya yang "akhadza" (ءاخذ), lit. "memegang" ubun-ubun semua binatang yang melata. Istilah "akhadza" (ءاخذ) ditafsirkan dengan menggunakan metode ta'wil takala membahas ayat yang termaktub dalam QS Hud 11:56.

Imam Bukhari menjelaskan demikian:

ما من ذابة الا هو (ءاخذ بناصيتها اي في ملكه وسلطانه)

"Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya."

Imam Bukhari ternyata menafsirkan Tuhan "memegang" (ءاخذ) tidak dengan tangan-Nya secara fisik ("tajsim"), tetapi menafsirkan istilah "memegang" dengan mengalihkan maknanya dengan ملكه (kekuasaan-Nya) dan سلطانه (kerajaan-Nya). Metode pengalihan makna inilah yang kemudian oleh para ulama Tafsir disebut ta'wil. Lihat kitab Jami' Al-Bukhari (Riyadh, Saudi Arabia: Dar as-Salam, 1999), hlm. 806

Dengan demikian, ayat tersebut ditakwil oleh Imam Bukhari dalam makna "mulk" (kekuasaan) dan "sulthan" (kerajaan). Sebenarnya, makna literal dari kata kerja ءاخذ (memegang) pada ayat tersebut bermakna bahwa ALLAH secara fisik menyentuh setiap ubun-ubun dari segala binatang.

Namun, bila Imam Bukhari memaknainya seperti itu sama saja memahaminya secara "tajsim" (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), karena Allah sebagai Sang Khalik tidak bisa disifati dengan tindakan memegang atau dipegang, sebab tindakan memegang atau dipegang adalah tindakan penyerupaan dengan makhluk-Nya. Itulah sebabnya Imam Bukhari memaknai ءاخذ (akhidzu) dengan ملكه (mulkihi) dan سلطانه (sulthanihi). Istilah سلطانه "sulthanihi" (kerajaan-Nya) merupakan takwil yang sejajar dengan term sebelumnya, yakni ملكه "mulkihi" (kekuasaan-Nya).

Jadi, tidak mungkin ortografi tulisan ملكه tersebut diselewengkan pembacaannya dan dibaca "malikihi" (pemilik-Nya). Pembacaan "malikihi" ini secara ilmu Nahwu amat bermasalah dan "ungrammatical" meskipun pembacaan menyimpang itu didorong oleh kepentingan tertentu dengan tujuan untuk menghindari takwil. Meski demikian, munculnya penggunaan istilah سلطانه (sulthanihi) dalam redaksi hadits tersebut sebenarnya merupakan upaya penakwilan Imam Bukhari yang amat jelas.

Jadi, dalam konteks ini, Imam Bukhari tidak mengajarkan adanya "tangan-Nya" secara fisik agar tidak terjebak pada pemahaman "tajsim."

Pada ayat yang lain, khususnya Qs. Shad 38:45 Allah juga berfirman:

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ

"Dan ingatlah hamba-hamba Kami, yakni Ibrahim, Ishak dan Yakub yang mempunyai tangan-tangan dan penglihatan-penglihatan."

Istilah الايدي (al-aydiy) dalam ayat tersebut secara literal bermakna "tangan-tangan." Sementara itu, istilah الابصار (al-abshar) secara literal bermakna "penglihatan-penglihatan."

Jika ayat ini dipahami secara literal apa adanya, ayat ini tidak memberikan informasi apa pun terkait "makam" kenabian mereka. Apa keistimewaan yang mereka miliki sehingga Tuhan menyebut ketiga Nabi tersebut dengan ungkapan memiliki "tangan" dan "penglihatan"? Apakah keistimewaan ketiga Nabi itu sekedar memiliki "tangan" dan "penglihatan" secara fisik? Apakah sekedar bertujuan untuk membedakan mereka bertiga dari antara orang-orang yang "buntung" tangannya dan "buta" penglihatannya? Bukankah semua orang juga memiliki tangan dan penglihatan?

Pemaknaan ayat ini secara literal apa adanya, justru tidak akan menyiratkan makna apapun. Silakan Anda merenungkannya.

Bila Anda mengatakan bahwa tangan dan penglihatan ketiga Nabi tersebut memang berbeda dengan tangan-tangan dan penglihatan orang lain secara fisik, tentu perbedaannya secara fisik tersebut juga tidak bermakna apa-apa, dan tidak memberikan jawaban apapun. Apakah kita tidak perlu mempertanyaan "kaifiyah" tangan dan penglihatan ketiga Nabi tersebut? Bagaimanapun "kaifiyah" tangan dan penglihatan seorang Nabi sekalipun pasti juga sama dengan tangan dan penglihatan fisik manusia pada umumnya.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement