Selasa 26 Nov 2019 17:00 WIB

Lam Tetap Ingin Berdialog untuk Kedamaian Hong Kong

Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menolak tawarkan konsesi kepada pemrotes

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam memberikan suaranya  dalam Pemilu di Hong Kong pada Ahad (24/11).
Foto: EPA-EFE/Jeon Heon-Kyun
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam memberikan suaranya dalam Pemilu di Hong Kong pada Ahad (24/11).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menolak untuk menawarkan konsesi kepada pemrotes anti pemerintah, Selasa (26/11). Dia akan mempercepat dialog dan mengidentifikasi cara untuk mengatasi keluhan masyarakat.

Lam mengatakan pemerintah pusat di Beijing tidak menyalahkannya atas hasil pemilu yang memberi kemenangan besar pada blok pro unjuk rasa. Hasil dari pemilihan umum anggota dewan distrik memberikan 90 persen kursi dan 17 dari 18 dewan distrik ke kubu pro unjuk rasa.

Baca Juga

Harus diakui, Lam menyatakan hasil dari pemilihan pada Ahad mencerminkan ketidakbahagiaan warga terhadap pemerintah saat menangani kerusuhan. Namun, dia pun menegaskan itu juga dapat berarti banyak orang ingin menghentikan kekerasan.

"Saya hanya ingin menekankan setelah lima-enam bulan ini, orang-orang Hong Kong telah menyadari dengan sangat jelas bahwa Hong Kong tidak bisa lagi menolerir situasi kacau ini," kata Lam pada konferensi pers mingguannya.

Kesempatan itu digunakan Lam meminta masyarakat untuk mempertahankan ketenangan kota tersebut selama periode pemilihan lalu. Dengan membuat kondisi kembali damai akan membawa pengaruh baik bagi kemajuan Hong Kong.

Lam mengatakan pemerintah berharap untuk mengambil keuntungan dari jeda kekerasan saat ini untuk mempercepat dialog publik. Mereka perlu membentuk komite peninjau independen untuk menemukan solusi dalam masalah-masalah sosial yang mendalam.

"Langkah selanjutnya untuk maju adalah, seperti yang telah Anda katakan, untuk melibatkan orang-orang. Dan kami telah memulai dialog publik dengan masyarakat," kata Lam.

Beberapa analis mengatakan partai yang berkuasa di China tidak akan melunakkan posisinya di Hong Kong. Media China telah membisukan laporan tentang hasil pemilihan, sebaliknya berfokus kandidat pro Beijing yang dilecehkan dan kebutuhan untuk memulihkan hukum dan ketertiban.

Beijing pun mencoba bersikap hati-hati dalam upaya menghindari membahayakan pembicaraan perdagangan dengan Amerika Serikat (AS). Beijing menghadapi tekanan dari rancangan undang-undang AS yang dapat menggagalkan status perdagangan khusus Hong Kong dan sanksi terhadap pejabat Hong Kong dan China yang melanggar hak asasi manusia.

Kementerian Luar Negeri China memanggil Duta Besar AS Terry Branstad untuk kedua kalinya pada Senin. Pertemuan ini untuk menuntut Washington memblokir legislasi bipartisan di Hong Kong. Wakil Menteri China Zheng Zeguang memperingatkan AS akan menanggung semua konsekuensi yang timbul jika RUU itu disahkan.

Presiden AS Donald Trump belum berkomitmen untuk menandatangani undang-undang dan memiliki 10 hari untuk memveto RUU tersebut. Jika dia tidak melakukannya, secara otomatis RUU menjadi hukum, sementara Kongres juga dapat mengesampingkan veto dengan mayoritas dua pertiga di kedua majelis.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement