Jumat 29 Nov 2019 07:21 WIB

Mendikbud Kaji Penghapusan UN, Kabar Baik atau Buruk?

Penilaian perlu disederhanakan ke kompetensi, tak hanya hafalkan informasi.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengiyakan adanya kajian terkait penghapusan pelaksanaan ujian nasional (UN). Ia mengaitkan kajian tersebut dengan arahan Presiden Joko Widodo soal pemenuhan kebutuhan dunia industri oleh sistem pendidikan di Indonesia.

"Sedang kami kaji. Ditunggu kabarnya," kata Nadiem ditemui di Jakarta, Kamis (28/11). Sejauh ini, Nadiem masih enggan menjelaskan secara detail soal pengkajian yang dilakukan pihaknya terhadap pelaksanaan UN.

Baca Juga

Kendati demikian, Nadiem menjelaskan, salah satu arahan dari Presiden Joko Widodo adalah menciptakan link and match antara sistem pendidikan dengan kebutuhan dunia industri. Agar hal tersebut tercapai, kata dia, perlu dilakukan deregulasi dan debirokratisasi dari semua instansi, termasuk pendidikan.

"Makanya platformnya kita sebut merdeka belajar, merdeka untuk lembaga, guru, dan murid mahasiswa. Ini step (langkah) pertama," kata Nadiem melanjutkan. Ia mengatakan, ingin kurikulum bisa disederhanakan dan lebih disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Penilaian yang selama ini dilakukan juga perlu disederhanakan agar beralih ke kompetensi, bukan hanya menghafalkan informasi. Menurut dia, yang terpenting adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) pendidik dan unit pendidik di jenjang SD sampai dengan SMA.

Sebab, menurut dia, hal itu adalah kunci dari fokus aktivitas Kemendikbud dan diarahkan kepada pelatihan dan peningkatan seorang pendidik. "Jadi, benar-benar fokus di situ," kata dia.

Sejak diberlakukan pada 2005, UN telah memunculkan gugatan oleh sejumlah pihak. Pada 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan sejumlah murid terkait sistem ujian dengan soal dan standar kelulusan yang berlaku seragam se-Indonesia itu.

Saat itu, hakim memutuskan bahwa pelaksanaan UN melanggar hak para siswa mendapatkan pendidikan layak. Selain itu, pengadilan juga memerintahkan agar pemerintah membenahi dan meratakan sarana dan prasarana sekolah, kualitas guru, dan akses informasi sebelum menggelar UN. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 2007 dan Mahkamah Agung pada 2009.

Kendati demikian, pemerintah berkeras menjalankan UN dengan alasan sudah melakukan pembenahan yang diamanatkan hakim. Pada 2018 lalu, mendikbud saat itu, Muhadjir Effendy, juga sempat mewacanakan moraturium pelaksanaan UN. Rencana itu kemudian dicegah Presiden Joko Widodo.

photo
Pelajar SMP saat mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di ruang kelas SMP Negeri 5 Kota Sorong, Papua Barat. (ilustrasi)

Standar nasional

Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, MH Said Abdullah, meminta pemerintah mengevaluasi kembali UN. Pasalnya, standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) belum terpenuhi di semua sekolah di seluruh Indonesia.

“Saya mengharapkan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen untuk menentukan kelulusan peserta didik dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti kondisi pembangunan wilayah dan infrastruktur,” kata Said Abdullah di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (28/11).

Menurut dia, UAN hanya bisa dilaksanakan ketika standar nasional pendidikan telah terpenuh di semua sekolah di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, proses belajar juga berlangsung dalam suasana yang telah digambarkan dalam PP Nomor 32 Tahun 2013. Jika hal ini belum terpenuhi, syarat untuk pelaksanaan UAN dengan sendirinya tidak terpenuhi. “Maka sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi kembali UAN sebagai satu satunya instrument kelulusan,” ujar dia.

Poltisi senior PDI Perjuangan ini mengatakan, yang justru harus dikejar oleh pemerintah adalah pemenuhan standar nasional pendidikan. Sehingga, evaluasi proses belajar peserta didik dapat dilakukan secara nasional.

Dalam situasi ketimpangan antarsekolah masih terjadi karena belum terpenuhinya standar nasional pendidikan, berbagai instrumen kelulusan dapat dikombinasikan dalam pembobotan kelulusan, antara ulangan oleh guru di sekolah yang bersangkutan dengan supervisi pemerintah pusat dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan UN. “Maka, Kementerian Pendidikan harus menentukan grade untuk tiap-tiap sekolah, sebagaimana Kementerian Pendidikan menentukan grade di jenjang pendidikan tinggi,” tuturnya.

Selain peserta didik jelas Said, yang perlu dievaluasi adalah lembaga dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik hanya bagian saja dari kegiatan evaluasi pendidikan secara keseluruhan. “Dalam melaksanakan kegiatan evaluasi pendidikan nasional muaranya adalah sebagai upaya untuk mencapai standar nasional pendidikan,” kata dia.

Said menyebut, titik krusial dari kegiatan evaluasi dan standar nasional pendidikan adalah pada peraturan pemerintah (PP). Sebab, UU SPN memandatkan ketentuan lebih lanjut mengenai evaluasi dan standar nasional pendidikan diatur lebih lanjut dalam PP.

Karena itu, DPR perlu memastikan, serta mengevaluasi lebih lanjut apakah PP tentang evaluasi dan standar nasional pendidikan telah dibuat dan dilaksanakan sebagaimana yang dimaksudkan oleh SPN. Terutama semangat, asas, dan prinsip-prinsipnya.

“Berpijak atas ketentuan ini, maka ada implementasi pendidikan nasional yang tidak nyambung. Standar nasional pendidikannya belum terpenuhi di semua sekolah, tetapi pelaksanaan evaluasinya yang ditentukan dalam UAN diberlakukan nasional,” ujar dia menegaskan. n inas widyanuratikah/arif satrio nugroho, ed: fitriyan zamzami

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement