REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zainin meminta publik tak membanding-bandingkan perjuangan demokrasi yang dilakukan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan KH Said Aqil Siradj. Sebab, masing-masing berjuang pada masa yang berbeda.
"Gus Dur kan lahir (berkiprah) pada zamannya. Kiai Said lahir pada zamannya. Tidak disitulah (memperbandingkan)," kata Helmy kepada Republika, Jumat (29/11).
Hal itu Helmi sampaikan untuk menanggapi respons publik atas usulan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj agar presiden kembali dipilih MPR RI. Publik pun menyebut-nyebut jasa Gus Dur, yang juga pernah menjadi Ketua Umum PBNU, terhadap demokrasi Indonesia saat ini. Terlebih, publik menyesalakan usulan itu lantaran Gus Dur pernah dijatuhkan dari kursi kepresidenan lewat sistem pemilihan di tangan MPR itu.
Helmy mengaskan, pada era Gus Dur, media sosial belum ramai digunakan rakyat Indonesia. Berbeda dengan era saat ini, di mana media sosial adalah bagian dari kehidupan dan tak jarang menjadi saluran untuk memperkeruh kontestasi politik.
"Ketika itu tidak ada sosial media, sekarang ada sosial media," ucapnya.
Helmy menjelaskan, usulan Kiai Said itu adalah hasil refleksi dari Pilpres 2019 yang melahirkan ketegangan, pembelahan dan konflik di masyarakat. Termasuk jatuhnya korban nyawa dan munculnya gerakan politik identitas.
"Sekarang, kalau alat yang kita sebut ideal itu (Pilpres langsung) pelaksanaanya melahirkan kerusakan, lalu apakah kita akan terus mempertahankannya? Kan tidak begitu," ujar Helmy
Usulan Kiai Said itu, kata dia, juga bukan berarti sikap anti-demokrasi. Sebab, sistem demokrasi perwakilan juga salah satu bentuk demokrasi. "Menggunakan permusywaratan perwakilan itu kan demokrasi by procedure," ucapnya.