REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Surabaya, Yuli Riswati (39 tahun), dideportasi dari Hong Kong. Dia ditangkap, kemudian diadili November lalu, kemudian dideportasi pada Senin (2/12).
Pendukung Yuli menuduh Pemerintah Hong Kong mendeportasinya karena dia telah melaporkan dan menerbitkan artikel kerusuhan sosial di akun Facebook-nya dan untuk situs berita independen Indonesia, Migran Pos, yang ia luncurkan pada Maret. Meski, Departemen Imigrasi menolak berkomentar tentang kasus-kasus individual.
Namun, Konsulat Jenderal RI (KJRI) Hong Kong mengatakan, Yuli dideportasi terkait izin tinggal. "Berdasarkan koordinasi dengan pihak Imigrasi Hong Kong, telah diperoleh konfirmasi bahwa Saudari Yuli telah dideportasi kemarin dengan CX 779 pukul 14.15 via Surabaya sebab telah melakukan pelanggaran keimigrasian terkait izin tinggal (overstay)," ujar Pejabat Penerangan, Sosial, dan Budaya KJRI Hong Kong Vania Alexandra kepada Republika, Selasa (3/12).
KJRI pun mendampingi Yuli di persidangan pada 4 November lalu. Vania mengatakan, Yuli divonis bersalah dengan hukuman setahun penjara dan denda 1.000 dolar Hong Kong.
KJRI enggan berkomentar spekulasi terkait tulisan Yuli tentang demonstrasi Hong Kong. "Kami tidak dapat berspekulasi mengenai kaitan proses hukum keimigrasian yang dihadapi Yuli dengan tulisannya mengenai demonstrasi di Hong Kong. Sesuai putusan pengadilan, dia divonis bersalah dan dijatuhi hukuman karena melakukan pelanggaran keimigrasian," ujar Vania.
"KJRI menghormati proses hukum yang berjalan dan putusan pengadilan setempat terhadap kasus tersebut."
Dilansir laman South China Morning Post, Departemen Imigrasi Hong Kong menekankan, hukum Hong Kong memberi lembaga mereka wewenang untuk menangkap, menahan, menuntut, dan mendeportasi siapa pun karena melanggar persyaratan tinggal mereka.
Pengacara Yuli, Chau Hang-tung, juga mengatakan tidak pernah menemui adanya penangkapan seperti yang terjadi pada Yuli. Namun, ia mengakui, petugas imigrasi diizinkan secara hukum untuk melakukannya.
Pada September, Yuli, yang sudah bekerja di Hong Kong sekitar sepuluh tahun, berbicara kepada surat kabar berbahasa Cina Ming Pao tentang peliputan aksi demonstrasi. Sebelumnya, ia kerap menulis tentang kegiatan pekerja Indonesia di Hong Kong.
Namun, sejak protes dimulai, dia menghadiri demonstrasi setiap Ahad, setiap kali dia mendapat hari libur. Dia mengatakan, kepada Ming Pao bahwa artikelnya faktual dan tidak membawa pendapat pribadinya.
Dampak ekonomi
Kepala eksekutif Hong Kong Carrie Lam, Selasa, mengatakan, bentrok antara pengunjuk rasa dan polisi akhir pekan lalu meredupkan harapannya bahwa perekonomian Hong Kong segera pulih. Dalam pertemuan rutin dengan wartawan, ia juga mengatakan, akan segera meluncurkan paket langkah baru untuk mendukung dunia usaha, melindungi lapangan kerja, dan menawarkan solusi ekonomi.
Hong Kong diguncang aksi sejak Juni. Pusat keuangan dunia ini kemudian mengalami resesi.
Lam juga mengatakan, Undang-Undang (UU) Hong Kong Human Rights and Democracy Act (HKHRDA) yang diloloskan Amerika Serikat (AS) merusak kepercayaan kepada Hong Kong. UU itu juga dinilai menciptakan lingkungan bisnis yang tidak pasti.
"Kami memiliki kebebasan media, kebebasan berserikat, kebebasan beragama --kami menikmati kebebasan dalam banyak hal secara luas," kata Lam. "Ada pemerintah di luas sana yang mencampuri urusan Hong Kong, dan itu sangat disesalkan." n fergi nadira/ap ed: yeyen rostiyani