Kamis 12 Dec 2019 07:36 WIB

Selamat Tinggal Ujian Nasional!

Mulai 2021, UN diganti sistem penilaian pendidikan asesmen kompetensi minimum.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim ditemui usai membuka rapat koordinasi kepala dinas, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (11/12).
Foto: Republika/Inas Widyanuratikah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim ditemui usai membuka rapat koordinasi kepala dinas, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (11/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akhirnya membuat kebijakan konkret mengenai konsep "merdeka belajar" yang diusungnya. Salah satu kebijakan itu adalah menghapus ujian nasional (UN) mulai 2021.

Nadiem mengatakan, 2020 akan menjadi tahun terakhir sistem penilaian pendidikan dengan format ujian nasional. "Tahun 2020, bagi orang tua yang sudah investasi banyak untuk anaknya, itu silakan lanjut. Tapi, itu hari terakhir UN seperti format sekarang diselenggarakan," kata Nadiem dalam rapat koordinasi bersama Dinas Pendidikan di Indonesia, di Jakarta, Rabu (11/12).

Baca Juga

Menurut Nadiem, format UN yang berjalan selama ini tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Ia menyebutkan, salah satu isu utama terkait UN adalah materi yang terlalu padat dan terlalu berfokus pada penguasaan materi.

Padahal, kata Nadiem, sistem penilaian pendidikan semestinya menilai kompetensi dasar pelajar. Oleh sebab itu, ia ingin mengganti sistem penilaian pendidikan menggunakan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.

Selain itu, pelaksanaan UN menjadi kegiatan yang menimbulkan tekanan bagi siswa, sekolah, dan orang tua karena menjadi indikator keberhasilan siswa. Padahal, tujuan UN adalah untuk menilai sekolah dan sistem pendidikan secara nasional.

"UN juga hanya menilai satu aspek, bahkan tidak semua aspek kognitif dites, lebih banyak ke penguasaan materinya. Belum menyentuh karakter siswa secara holistik," kata Nadiem.

Secara nasional, Nadiem menyebut pemerintah masih memerlukan tolok ukur pendidikan. Namun, pola pengukuran ini akan diubah. "Asesmen kompetensi minimum adalah kompetensi yang benar-benar minimum yang mana kita bisa memetakan daerah berdasarkan kompetensi minimum," kata Nadiem.

Asesmen kompetensi minimum akan menilai aspek literasi dan numerasi. Nadiem menjelaskan, literasi yang dimaksud bukanlah sekadar kemampuan membaca, melainkan lebih pada kemampuan menganalisis suatu bacaan. Jenis penilaian selanjutnya adalah numerasi, yaitu kemampuan menggunakan angka-angka.

Menurut Nadiem, kedua sistem penilaian itu akan menyederhanakan asesmen kompetensi yang dilakukan mulai 2021. "Jadi, bukan berdasarkan mata pelajaran lagi, bukan berdasarkan konten. Ini berdasarkan kompetensi dasar yang dibutuhkan murid-murid untuk bisa belajar apa pun mata pelajarannya," kata Nadiem.

Selanjutnya akan dilakukan survei karakter. Nadiem menjelaskan, survei karakter akan menjadi tolok ukur untuk melakukan perubahan demi menciptakan siswa-siswi yang lebih bahagia dan lebih kuat asas Pancasilanya. Ia mengungkapkan, pemerintah saat ini memiliki data kognitif siswa.

Akan tetapi, pemerintah tidak mengetahui kondisi ekosistem di dalam sekolah. "Kita tidak tahu apakah asas Pancasila benar-benar dirasakan oleh siswa Indonesia," kata Nadiem.

Survei karakter akan melihat bagaimana implementasi gotong royong dan juga tingkat toleransi siswa. Selain itu, survei akan digunakan untuk melihat kebahagiaan anak, apakah sudah mapan atau masih terdapat perundungan-perundungan. "Survei ini akan menjadi satu panduan buat kami dan daerah," kata dia lagi.

Nadiem memberikan kebebasan bagi sekolah untuk melakukan ujian sekolah. Menurut Nadiem, hal ini menjadi salah satu langkahnya dalam menciptakan kemerdekaan dalam belajar. Dia menjelaskan, semangat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sudah jelas, yakni murid dievaluasi oleh guru dan kelulusan ditentukan melalui suatu penilaian yang dilakukan sekolah.

Namun, keberadaan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) yang diterapkan saat ini membuat semangat kemerdekaan dalam belajar tidak optimal. "Karena dia harus mengikuti soal berstandar, kebanyakan pilihan ganda dan format yang hampir sama seperti UN," kata Nadiem.

Oleh karena itu, pada 2020, USBN akan diganti dan dikembalikan kepada setiap sekolah untuk menyelenggarakan ujian kelulusannya sendiri dengan mengikuti kompetensi dasar yang ada di kurikulum. Kendati demikian, perubahan ini tidak diwajibkan.

Bagi sekolah yang belum nyaman melakukan perubahan, bisa menerapkan format yang sedang berjalan. Ia berharap perubahan ini bisa membuat sistem penilaian yang tidak hanya terpaku pada tes, seperti soal pilihan ganda.

Kesempatan untuk bebas menentukan penilaian diyakini bisa memberikan kemerdekaan bagi para guru untuk menciptakan konsep penilaian yang holistik dan menguji kompetensi dasar yang ada. "Jadi, bayangkan, betapa banyaknya inovasi yang bisa dilaksanakan kepala sekolah dan guru penggerak dengan adanya kemerdekaan ini," kata Nadiem.

photo
Pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMP Negeri 10 Solo, Rabu (24/4).

Penilaian baru

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, sistem penilaian baru akan dilakukan di tengah jenjang pendidikan. Rencananya, penilaian dilakukan saat siswa berada di kelas IV SD, II SMP, dan II SMA.

Penilaian dilakukan di tengah jenjang pendidikan bertujuan memberikan waktu bagi sekolah dan guru untuk melakukan perbaikan sebelum seorang siswa lulus jenjang. Sebab, kata dia, ujian saat ini dilakukan di akhir jenjang hingga sekolah maupun guru tidak bisa memberikan bantuan sesuai asesmen tersebut.

"Jadi, seperti berkaca. Tapi, yang penting setelah itu bukan berkacanya, tapi bagaimana memperbaiki diri. Itu maksudnya mengapa di tengah, untuk memperbaiki diri," kata Totok.

Namun, Totok berharap sekolah tidak mengandalkan penilaian yang dilakukan setiap tahun oleh pemerintah. Para guru dalam kesehariannya juga harus bisa menilai perkembangan belajar siswa.

Ketua Komisi X Syaiful Huda menyambut baik kebijakan Mendikbud mengubah sistem UN dengan sistem yang lebih sederhana. Menurut dia, Komisi X sejak awal mendukung kebijakan tersebut.

"Tinggal langkah apa saja yang harus disiapkan untuk menuju perubahan ini, kebijakan penghapusan UN. Itu yang lebih penting supaya ini tidak menjadi kebijakan parsial dan tidak implementatif di lapangan," kata Syaiful kepada wartawan, Rabu (11/12).

Ia menganggap UN tidak lagi relevan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Sebab, UN kerap membuat semua pihak stres. "Siswa, guru, kepala sekolah, orang tua, bahkan bupati dan wali kota juga stres. Dari situ saja saya kira ini harus lebih baik," ujar politikus PKB tersebut. Ia optimistis sistem baru yang akan diterapkan lebih baik dari UN. Apalagi, UN kerap dikritisi oleh para pegiat pendidikan.

Komisi X berencana menggelar rapat kerja dengan Kemendikbud pada Kamis (12/12). Salah satu isu yang bakal dibahas mengenai penghapusan UN. "Prinsip kita dukung, sangat mendukung, tinggal pasca-penghapusan ini apa langkah-langkahnya karena yang kita hadapi ini dunia pendidikan nasional yang problemnya pelik, kompleks. Jangan sampai kebijakan ini berhenti sampai di kertas saja," katanya. n inas widyanuratikah/febrianto adi saputro, ed: satria kartika yudha

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement