REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap, banyak peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) enggan membayar meskipun memiliki kemampuan. Kepala Badan Litbangkes Kemenkes Siswanto mengatakan, riset fasilitas kesehatan (rifaskes) ini untuk mengetahui jaminan kesehatan semesta (UHC) program JKN-KIS.
"Tujuannya untuk melihat keberadaan atau kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan. Ternyata peserta JKN-KIS itu banyak yang mampu membayar, tetapi mereka tidak mau bayar," ujarnya saat ditemui di Jakarta, baru-baru ini.
Ia menambahkan, rata-rata peserta enggan membayar premi dengan berbagai alasan, mulai dari administrasi rumit, rujukan yang bersifat hierarki, hingga ingin membayar langsung. Ia mengungkap, ketika peserta beralasan ingin membayar langsung artinya masyarakat tidak memahami manajemen risiko. "Sehingga, dibutuhkan literasi tentang asuransi kesehatan melalui penyuluhan mengenai pentingnya asuransi kesehatan untuk manajemen risiko kesehatan," katanya.
Yang juga menarik dari rifaskes ini, kata dia menambahkan, yakni adanya lima kategori peserta, yaitu kategori pertama paling miskin, kategori dua miskin, dan kategori lima sangat kaya. Ternyata pihaknya mendapatkan fakta peserta di kategori satu dan dua ini banyak membelanjakan uangnya untuk membeli rokok. "Padahal, seandainya belanja rokok itu untuk membayar premi sebenarnya cukup," ujarnya.
Temuan lainnya yang juga menarik ialah masih ada penerima bantuan iuran (PBI) yang kurang tepat sasaran. Kendati demikian, Siswanto enggan mengungkap lebih lanjut temuan riset tersebut. Siswanto mengatakan, hasil rifaskes termasuk riset-riset tematik JKN-KIS mengenai kemauan bayar dan kemampuan membayar premi akan dipublikasi Litbangkes Kemenkes pada Januari 2020 mendatang.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan, persoalan ini bukan hal baru. "Masalah ini sering dibahas, punya ability to pay, tapi tak punya willingness to pay," ujarnya saat dihubungi Republika, Ahad (29/12) malam.
Karena itu, dia melanjutkan, masalah ini perlu diatur dengan regulasi karena sosialisasi dan edukasi belum cukup. Disinggung bentuk aturan yang diharapkan BPJS Kesehatan, dia tak mau berkomentar banyak.
Sementara itu, menanggapi riset Balitbang Kemenkes ini, anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengakui JKN merupakan salah satu program baik yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Ia mengimbau seluruh masyarakat mendukung dan membantu agar program ini tetap berlanjut. Masyarakat dapat mendukung dengan berpartisipasi aktif menjadi peserta dan membayar iuran sesuai ketentuan.
“BPJS itu mengandalkan gotong royong. Motonya, dengan gotong royong semua tertolong. Dalam konteks ini, orang mampu menolong yang tidak mampu, orang sehat menolong orang yang sakit,” tuturnya kepada Republika, Ahad. Ia menilai, sikap masyarakat yang menunggu sakit baru menjadi peserta program JKN-KIS dikhawatirkan dapat mengganggu pelayanan yang diberikan BPJS Kesehatan.
“Apalagi, sampai saat ini, BPJS masih terus mengalami defisit yang jumlahnya sangat tidak sedikit,” tegas wakil ketua fraksi PAN DPR tersebut. Di sisi lain, DPR meminta BPJS Kesehatan meningkatkan pelayanan dan fasilitas kesehatan kepada masyarakat. Komisi Kesehatan DPR meminta tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap peserta BPJS. Misalnya, pelayanan bagi mereka yang bayar sendiri atau memakai asuransi lain harus sama dengan peserta BPJS.
“Tingkat kolektabilitas iuran BPJS, menurut saya, juga sangat tergantung dengan kualitas pelayanan yang diberikan. Semakin bagus pelayanan yang diberikan, semakin tinggi kepercayaan masyarakat, dan tentu semakin lancar pula mereka membayar iuran setiap bulannya,” tutur Saleh.
Ia mengakui, sampai saat ini masih menerima keluhan dari masyarakat yang merasa dianaktirikan jika sedang berobat dengan JKN-KIS. Keluhan-keluhan tersebut lebih banyak karena adanya perlakuan diskriminatif dari fasilitas kesehatan yang kurang memberikan pelayanan baik bagi peserta JKN-KIS.
“Sejauh ini, masih ada keluhan warga yang merasa dianaktirikan jika sedang berobat. Ada kesan seakan mereka kurang begitu mendapat pelayanan yang baik. Ini harus diperbaiki. Harus dipastikan bahwa semuanya diperlakukan secara adil,” tegasnya. N rr laeny sulistyawati/erdy nasrul, ed: agus raharjo