REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agus Raharjo, wartawan Republika
Sutarmi, nenek satu cucu, terlihat khusyuk menggoreskan cat warna kuning yang sudah dicampur lem pada kulit tokoh wayang Rajamala di Dukuh Butuh, Desa Sidowarno, Kabupaten Klaten, beberapa waktu lalu. Di sebelahnya kanannya, Suparno 'Mejeng', penyungging lain tengah memberi warna merah pada kulit Buto Kenthus. Keduanya tampak berhati-hati merias tokoh-tokoh wayang kulit di rumah Sunardi 'Baron' yang juga menjadi tempat Sanggar Aruming Budoyo.
Di samping kiri Sutarmi, Baron dengan alat tatahnya, membuat pola di atas kulit kerbau mengikuti lengkung garis pada gambar bentuk tokoh wayang Jagal Abilawa. Sejarak 20 meter dari ketiganya duduk, Sutar Sismiyanto, ayah Baron, sibuk menyerut kulit kerbau yang sudah kering. Laki-laki sepuh itu menyerut seluruh lapisan lemak pada kulit kerbau berukuran sekira 2x1,5 meter dengan petel rimbas.
Adik Baron, Sukari, di rumah berbeda sedang melapisi kulit Dasamuka dengan prada emas. Bukan sekadar warna emas, tetapi emas asli. Prada emas ini benar-benar ditempelkan pada tokoh-tokoh wayang kulit pesanan yang dikerjakan di salah satu sanggar perajin wayang kulit di Klaten.
Di bagian rumah lain, adik Baron lainnya, Sunarto juga terlihat sibut menatah pola tokoh wayang Rajamala untuk membuat detail bentuk rambut. “Butuh 9 kali tatahan khusus membuat bentuk rambut,” tutur Sunarto saat ditemui Republika.co.id, tengah Desember 2019 kemarin.
Sunarto, penatah wayang sedang membuat bentuk rambut pada tokoh wayang di Sanggar Aruming Budoyo, Dukuh Butuh, Klaten, Jateng, Kamis (26/12).
Aktivitas Sanggar Aruming Budoyo (Harumnya Budaya) terlihat hidup siang itu. Dukuh yang letaknya di pinggir aliran Sungai Bengawan Solo ini paling luar sisi tenggara Kabupaten Klaten. Lokasinya bahkan lebih dekat dengan Kabupaten Sukoharjo. Tempatnya yang jauh dari pusat kabupaten, membuat tempat ini seharusnya jarang disambangi pendatang. Tetapi, berkah kerajinan pembuatan wayang kulit membuat Dukuh Butuh terus hidup.
Kepada Republika.co.id, Sutarmi yang akrab disapa Mbah Sutar Santi mengaku sudah 30 tahun menggeluti profesi sebagai penyungging, memberi warna pada wayang kulit. Keahliannya bukan datang tiba-tiba. Saat masih muda dulu, dia adalah karyawan jahit pada pabrik garmen di daerah Sukoharjo.
Suaminya lah yang mengenalkan dan mengajarkan keahlian menyungging wayang kepada Mbah Sutar Santi. Ia baru bisa menjadi penyungging setelah belajar selama tiga tahun dari sang suami yang kini menderita stroke.
“Ketemu suami yang penyungging, diajari bertahun-tahun, sekarang sudah 30 tahun jadi penyungging wayang kulit,” tutur Sutarmi sembari tertawa.
Ia mengisahkan, tak ada sekolah untuk belajar menjadi penyungging atau pembuat wayang di Dukuh Butuh. Seluruh keahlian ditularkan dari generasi ke generasi melalui pengajaran langsung. Kini, setelah 30 tahun menjadi penyungging, Sutarmi bisa memulas tiga tokoh wayang kulit dalam sepekan.
“Sekarang pekerjaannya ya ini, tidak ada yang lain,” ujarnya.
Meskipun hanya sebagai salah satu penyungging, Sutarni mampu membesarkan anak-anaknya hingga saat ini sudah memiliki satu cucu. Kini, ia bekerja sendirian setelah beberapa tahun lalu sang suami sudah tidak mampu lagi menyungging karena sakit. Dari hasil merias wayang kulit, Sutarmi mampu menghasilkan rerata Rp 900 ribu sepekan.
Sukari memberi warna emas dengan prada emas pada wayang kulit tokoh Dasamuka di Dusun Butuh, Klaten, Jawa Tengah, Kamis (26/12).
Bergerak bersama
Sutarmi hanya salah satu perajin wayang kulit yang ada di bawah naungan Sanggar Aruming Budoyo. Ia juga tergabung sebagai anggota Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Bima di Dukuh Butuh. Masih ada beberapa sanggar perajin wayang kulit di daerah ini. Kini, sebagian besar mereka tergabung dalam KUBE Bima. Jumlah anggotanya sekitar 40 orang dari sekira 70 perajin. Saat pertama didirikan pada 2009 lalu, jumlah anggota KUBE Bima hanya 11 orang.
Seluruhnya memiliki keahlian dan spesialisasi masing-masing. Mulai dari proses pengolahan kulit kerbau mentah hingga menjadi kulit siap dibentuk, hingga proses penatahan membentuk tokoh dalam pewayangan serta pemberian warna agar lebih menghidupkan karakter wayang. Baron yang juga Sekretaris KUBE Bima mengaku, pendirian KUBE Bima untuk membuat perajin wayang kulit di dusunnya bisa bergerak bersama.
Hal itu tak semudah dibayangkan. Jatuh-bangun usaha pembuatan wayang kulit pernah dialami Baron dan perajin lain di Butuh. Puncaknya, pada krisis moneter 1998 lalu, banyak perajin yang alih profesi bekerja di pabrik akibat sepinya permintaan wayang kulit. Dari sekitar 500 Kepala Keluarga (KK) di Dukuh Butuh, kini hanya tersisa sekitar 70 perajin yang masuk di beberapa sanggar.
Bahkan, Baron sempat alih profesi sebagai petani melon, peternak ayam serta merantau membuat wayang untuk dalang. Hingga pada 2005, Baron kembali ke Butuh untuk melanjutkan pembuatan wayang secara mandiri dengan menerima pemesanan dari beberapa dalang wayang kulit. Pengalamannya merantau bekerja pada dalang-dalang membuat koneksi Baron luas. Kini, dalam sebulan, Baron bersama sanggarnya mampu menyelesaikan minimal 10 wayang kulit.
Ia tak mengambil untung sebanyak-banyaknya dalam setiap wayang yang dibuat sanggarnya. Sebab, dalam pembuatan satu wayang, melibatkan banyak perajin yang membuat keuntungan dibagi bersama-sama.
Misalnya, tutur Baron, untuk membuat satu wayang Gunungan dihargai Rp 2,25 juta-hingga Rp 4 juta. Dari satu Gunungan pekerjaan dibagi-bagi untuk upah perajin natah sebesar Rp 800 ribu, penyungging Rp 800 ribu, dan ongkos penyediaan kulit kerbau sebesar Rp 400 ribu. Gunungan paling mahal dilapisi prada emas.
Namun, dengan bekerja secara bersama-sama ini, wayang kulit mampu menggerakkan roda perekonomian di Dukuh Butuh. “Kulo (saya) tidak kerja sendirian, kulo tugase nyari order (saya bertugas menerima pesanan), ngapunten kulo mboten (maaf saya bukan) bos, tapi kulo gadhah (saya mempunyai) rekan kerja, pemulas tiga, penatah tiga,” tutur Baron.
Bapak dua anak ini menuturkan, sanggarnya paling banyak menerima pesanan tokoh Bima atau Werkudoro dan Arjuna. Baron juga menegaskan tidak berani menerima pesanan wayang satu kotak (paket lengkap seluruh wayang). Seluruh pembuatan wayang dibuat secara eceran dan dibagi-bagi ke setiap anggota sanggar yang tergabung dalam KUBE Bima.
Kini, usaha Sanggar Aruming Budoyo bukan hanya membuat wayang kulit. Baron sudah mengembangkan usahanya memasuki seluruh proses pembuatan wayang kulit maupun kerajinan dari kulit. Bahkan, kulit sisa pembuatan wayang bisa dijual kembali.
Selain wayang kulit, KUBE Bima kini juga menjual perlengkapan pembuatan wayang, hiasan kaligrafi dari kulit, hiasan wayang dinding, gantungan kunci, hingga pernak-pernik dari kulit. Bagi Sanggar Aruming Budoyo, mereka sudah bertekad tidak akan mencari pekerjaan lagi.
“Bagi kami, kami bertekad tidak akan lagi mencari pekerjaan, tetapi kami ingin menciptakan pekerjaan,” tegas Baron.
Warga Butuh juga bertekad akan terus menghidupkan kerajinan pembuatan wayang kulit, karena selama ini melalui kerajinan inilah yang mampu menghidupkan ekonomi mereka. Pekerjaan masih banyak, tantangan tak akan habis.
KUBE Bima ingin salah satu hasil kebudayaan Indonesia ini tetap bertahan bahkan makin berkembang terutama untuk mengenalkan kembali pewayangan pada generasi milenial. Satu cita-cita Sanggar Aruming Budoyo yang belum tercapai adalah memasukkan pelajaran pewayangan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Bukan hanya pengenalan tokoh wayang, tetapi juga bagaimana proses pembuatan wayangnya sendiri.
Pendampingan
Jerih payah Baron, Sutarmi, Suparno, maupun Sukari dan KUBE Bima seperti mendapat harapan baru ketika Astra memilih Dukuh Butuh sebagai salah satu dalam Program Kampung Berseri Astra (KBA) sejak 11 Agustus 2018 lalu. Melalui salah satu pilarnya di bidang pendidikan, Astra melakukan pendampingan kepada KUBE Bima untuk menembus sekolah-sekolah dasar.
Memang masih sekolah terdekat dari Dusun Butuh. Tetapi, pembelajaran pembuatan wayang untuk siswa sekolah dasar ini menjadi upaya mengenalkan kembali pewayangan di kalangan generasi milenial. KBA Dukuh Butuh dibimbing oleh AFFCO (Astra Group Affiliated Companies) Solo Raya, anak perusahaan Astra International.
Pendamping KBA Dukuh Butuh dari AFFCO Solo Raya Wahyu Triyono menuturkan, salah satu alasan terpilihnya Dukuh Butuh adalah adanya semangat warga untuk melestarikan wayang kulit sebagai salah satu ikon kebudayaan nasional. Mereka bisa bergerak secara bersama untuk menyiapkan regenerasi pembuatan wayang kulit agar tidak punah.
Saat ini, mayoritas perajin yang ada di Butuh berusia di atas 35 tahun. Jika kondisi ini terus dibiarkan, rentang 20 hingga 30 tahun lagi tidak ada lagi perajin aktif yang membuat wayang kulit di dusun ini.
“Tujuan besarnya adalah regenerasi. Harapannya kerajinan pembuatan wayang ini menjadi program kerakyatan, menyejahterakan masyarakat secara bersama-sama,” tutur Wahyu kepada Republika.co.id.
Wahyu mengakui, tantangan besar merawat profesi kerajinan pembuatan wayang kulit adalah masuknya industri. Banyak perajin yang sudah beralih profesi dengan bekerja di pabrik-pabrik karena sebelumnya antarperajin bekerja sendiri-sendiri. Kini, setahun lebih setelah pendampingan dengan KUBE Bima, perlahan, mereka kembali menggeluti profesi tanpa khawatir tidak mendapat pekerjaan karena kalah modal dengan sanggar yang sudah besar.
KUBE Bima seiring waktu menjadi tempat bersatunya perajin wayang kulit di Dukuh Butuh. Mereka dipertemukan, disatukan, dalam wadah yang dicita-citakan mampu menjadi dusun wayang kulit. Bukan hanya soal kerajinan pembuatan wayangnya, tetapi juga munculnya kesenian karawitan, pedalangan maupun wisata wayang.