Sabtu 04 Jan 2020 09:25 WIB

Diserang AS, Iran Tegaskan Negaranya Berhak Membela Diri

Kepada Dewan Keamanan PBB, Iran tegaskan negaranya berhak membela diri dari AS.

Serangan AS di Bandara Internasional Baghdad, Irak pada Jumat (3/1), menewaskan tokoh militer Iran. Kepada Dewan Keamanan PBB, Iran tegaskan negaranya berhak membela diri dari AS.
Foto: EPA
Serangan AS di Bandara Internasional Baghdad, Irak pada Jumat (3/1), menewaskan tokoh militer Iran. Kepada Dewan Keamanan PBB, Iran tegaskan negaranya berhak membela diri dari AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Iran menegaskan kepada Dewan Keamanan dan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Jumat bahwa mereka memiliki hak untuk bela diri di bawah hukum internasional. Pernyataan itu dilontarkan setelah Amerika Serikat membunuh komandan militernya yang paling terkenal, Qassem Soleimani.

Dalam sebuah surat, Duta Besar Iran untuk PBB, Majid Takht Ravanchi mengatakan, pembunuhan Soleimani adalah contoh nyata terorisme negara dan sebagai tindakan kriminal. Ia menyebut serangan Amerika sebagai pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip dasar hukum internasional, khususnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Baca Juga

Soleimani, seorang jenderal berusia 62 tahun yang mengepalai pasukan Penjaga Revolusi Iran di luar negeri, dianggap sebagai tokoh paling kuat kedua di negara itu setelah Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Amerika Serikat membunuh Soleimani dalam serangan semalam di Irak yang direstui Presiden AS Donald Trump.

Seorang pejabat senior administrasi Trump mengatakan Soleimani telah merencanakan serangan segera terhadap personel AS di Timur Tengah. Amerika Serikat berupaya membenarkan pembunuhan Soleimani berdasarkan Pasal 51 Piagam AS, yang mencakup hak individu atau kolektif untuk membela diri terhadap serangan bersenjata.

Menurut Pasal 51, negara-negara diharuskan untuk "segera melaporkan" kepada Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 orang, segala tindakan yang diambil dalam melaksanakan hak bela diri. Amerika Serikat juga menggunakan Pasal 51 untuk membenarkan tindakan yang dilakukan di Suriah terhadap kelompok militan pada 2014.

Para diplomat mengatakan belum ada surat yang diterima dari Washington mengenai pembunuhan Soleimani. Menurut juru bicaranya, Farhan Haq, dalam sebuah pernyataan sebelumnya pada Jumat, Guterres sangat prihatin dengan meningkatnya ketegangan di Timur Tengah baru-baru ini.

"Ini adalah saat di mana para pemimpin harus melakukan pengendalian diri secara maksimal. Dunia sudah tidak ingin lagi peperangan di Teluk," kata Haq.

sumber : Antara, Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement