Senin 06 Jan 2020 21:56 WIB

Pemerintah Didorong Terus Lakukan Diplomasi dengan China

Pemerintah tak boleh gegabah untuk menghindari konflik yang lebih besar.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Wakil Ketua Komisi X DPR Teuku Riefky Harsya.
Foto: dpr
Wakil Ketua Komisi X DPR Teuku Riefky Harsya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi I DPR Fraksi Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya mendorong pemerintah untuk terus melakukan diplomasi dengan China menyusul masuknya kapal dari Cina ke perairan Natuna. Diplomasi perlu untuk terus dilakukan untuk mencegah eskalasi yang tidak diperlukan.

"Apalagi Indonesia merupakan negara yang patuh terhadap aturan dan hukum internasional," ujar Riefky lewat pesan singkat, Senin (6/1).

Baca Juga

Ia turut mengapresiasi sikap Kementerian Luar Negeri yang terlebih dahulu memanggil duta besar China guna menyampaikan sikap resminya. Sebab dalam hal ini, pemerintah tak boleh gegabah dalam menentukan sikap untuk menghindari konflik yang lebih besar.

"Jalur penyelesaian masalah yang tepat harus yang sesuai atau tidak bertentangan dengan aturan-aturan internasional yang berlaku," ujar Riefky.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia menyatakan tidak akan pernah mengakui klaim sepihak Cina atas teritorial di bagian laut Natuna yang disebut Nine Dash Line. Seusai peristiwa masuknya kapal nelayan dan Coast Guard China pada akhir Desember 2019.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan tidak akan pernah mengakui klaim China atas nine dash lines (sembilan garis putus-putus) di perairan Natuna. Retno menyebut, batas wilayah itu tanpa dasar hukum.

Anggota Komisi I Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaiful Bahri Anshori mendesak pemerintah segera menyelesaikan polemik tersebut. Presiden Joko Widodo juga didesaknya untuk segera melakukan lobi serta memperkuat diplomasi untuk menjaga kedaulatan NKRI.

Sebab, masuknya kapal asing ke wilayah Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata. "Pemerintah Indonesia harus mengawal dan secara tegas melakukan penolakan atas klaim Cina melalui nota diplomatik yang menjelaskan posisi dan sikap Indonesia yang tegas," ujar Syaiful.

Ia juga mendukung upaya pemerintah jika ingin melakukan protes keras terhadap masalah tersebut. Klaim sepihak dari Cina dinilainya sudah melanggar banyak hal, karena berdasarkan fakta sejarah, pada 18 Mei 1956, Indonesia resmi meminta wilayah itu sebagai wilayahnya ke PBB.

"Klaim Cina tidak mempunyai dasar historis apapun atas laut Natuna, selain daripada kepentingan ekonomi akan kekayaan gas alam di Natuna," ujar Syaiful.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement