REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permasalahan PT Asuransi Jiwasraya masih belum menemukan titik terang. Kasus ini mulai menguak sejak 2017 karena adanya laporan keuangan dianggap ‘termodifikasi’
Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan laporan keuangan Asuransi Jiwasraya seperti kegiatan bisnis Multi Level Marketing (MLM) yang memberikan keuntungan awal kemudian menjerat para nasabah. Kemudian masalah Asuransi Jiwasraya melakukan aksi window dressing pada 2016 lalu.
“Pada 2006 sudah ada rekayasa akutansi kok tidak terdeteksi. Itu window dressing, melakukan permak laporan keuangan seperti operasi plastik, biar kelihatan cantik. Jadi yang terjadi harusnya rugi jadi laba, atau laba kecil jadi besar," ujarnya saat konferensi pers di Gedung IAPI, Jakarta, Senin (13/1).
Jika ditelisik, pada 2012 Asuransi Jiwasraya mulai melirik bisnis investasi dengan mengeluatkan produk JS Saving Plan. Padahal, bisnis investasi sudah keluar dari bisnis perseroan.
JS Saving plan merupakan produk asuransi jiwa yang juga merupakan produk investasi. Produk ini ditawarkan melalui perbankan atau bancassurance. Tak seperti unit link yang risikonya dipegang pemegang polis, produk ini risikonya ditanggung perusahaan asuransi. Kemudian yang membuat produk ini menawarkan imbal hasil dua kali lipat lebih tinggi dari deposito.
"Produk ini dijual melalui banyak bank, yang paling besar Standard Chartered. Lalu kenapa banyak orang Korea jadi korban karena ditawarkan juga lewat Bank KEB Hana. Deposito di bank itu ada Rp 10 triliun, masuklah Jiwasraya tawarna JS Saving Plan dengan imbalan 13 persen," jelasnya.
Sementara Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo menambahkan laporan keuangan Jiwasraya pada 2017 mencatatkan laba Rp 360 miliar. Namun ada yang aneh dengan opini yang dikeluarkan oleh akuntan publik bahwa laporan itu mendapatkan opini modifikasian.
“Tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang menyebabkan bahwa laporan keuangannya dengan modifikasian," ucapnya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)dalam paparan publiknya pada 8 Januari 2020 mempertegas bahwa opini auditor akuntan publik atas laporan keuangan AJS 2017 tersebut adalah “opini tidak wajar” atau “adverse opinion” karena kekurangan cadangan teknis sebesar Rp 7 triliun. Hal ini berarti bahwa laba yang diumumkan oleh direksi pada 2017 sebesar Rp 360 miliar adalah tidak tepat menurut auditor, yang seharusnya rugi Rp 7 triliun tersebut.
“Informasi yang kami dapatkan bahwa laporan keuangan AJS tahun buku 2018 belum diaudit oleh akuntan publik hingga pada saat ini, sehingga laporan keuangan atau apapun terkait dengan informasi keuangan AJS tidak ada sangkut pautnya dengan akuntan publik. Kami menyayangkan laporan keuangan lengkap beserta laporan tahunan tahun 2017 dan 2018 tidak dipublikasikan kepada masyarakat sebagaimana yang dilakukan untuk tahun-tahun sebelumnya. Hal ini mengurangi transparansi dan akuntabilitas perusahaan,” jelasnya.
Berdasarkan ketentuan UU Perseroan Terbatas bahwa laporan keuangan yang disusun sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku, sepenuhnya merupakan tanggung jawab dari Direksi AJS dengan pengawasan oleh Dewan Komisaris. Setelah disetujui oleh Direksi dan Dewan Komisaris lalu di audit oleh Akuntan Publik, laporan keuangan kemudian disahkan oleh RUPS.
Akuntan publik selaku pihak eksternal yang ditunjuk perusahaan untuk melakukan audit atas laporan keuangan bertanggung jawab atas opini auditor atas laporan keuangan. Audit berbeda dengan menyusun laporan keuangan, laporan keuangan dibuat oleh direksi yang dibantu oleh stafnya.
Audit adalah suatu kegiatan yang dilakukan auditor dalam rangka mendapatkan bukti-bukti untuk membuat simpulan penilaian apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Peran audit untuk meningkatkan reliabilitas laporan keuangan.
Opini auditor dituangkan dalam suatu laporan auditor yang memuat simpulan opini, yang kemudian laporan auditor tersebut dilekatkan pada laporan keuangan yang disusun dan disetujui oleh direksi untuk kemudian diterbitkan.