Selasa 14 Jan 2020 08:32 WIB

Birokrasi Penyebab Kegagalan KPK Geledah DPP PDIP?

Kali pertama dalam sejarah KPK, penggeledahan dilakukan usai berhari-hari pasca-OTT.

KPK menetapkan tersangka dan menahan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Foto: Republika/Mardiah
KPK menetapkan tersangka dan menahan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana penggeledahan kantor pusat DPP PDI Perjuangan yang urung dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi sorotan berbagai pihak. Hal tersebut dinilai jadi bukti pelemahan KPK di bawah revisi Undang-Undang KPK yang ramai mendapat penolakan beberapa waktu lalu.

Mantan ketua KPK Abraham Samad menuturkan, selama ini operasi tangkap tangan (OTT) dan penggeledahan dilakukan pada saat yang sama. Kali ini, menurut Abraham, untuk pertama kalinya dalam sejarah KPK, penggeledahan baru dilakukan setelah berhari-hari pasca-OTT.

Baca Juga

“Pertama kalinya dalam sejarah, penggeledahan dilakukan berhari-hari pasca-OTT,” tulis Abraham Samad dalam akun Twitter resminya, kemarin. Menurut Abraham, tujuan dilakukannya penggeledahan adalah untuk menemukan barang bukti dengan cepat. Itulah mengapa, kata dia, OTT dan penggeledahan dilakukan pada waktu yang sama.

Jika OTT tidak disertai penggeledahan pada waktu bersamaan, akan menimbulkan potensi hilangnya alat bukti. “OTT yang tidak disertai penggeledahan pada waktunya, tidak saja menyimpang dari SOP, tapi membuka peluang hilangnya barang bukti, petunjuk, dan alat bukti lain. Ini sama dengan memberi waktu pelaku kejahatan buat hilangkan jejak,” tulisnya.

Sebelumnya, KPK telah melakukan operasi tangkap tangan terhadap komisioner KPU, Wahyu Setiawan, bersama sejumlah orang pada Rabu, 8 Januari 2020 lalu. Menyusul kemudian 9 Januari 2020, KPK hendak melakukan penyegelan dan penggeledahan di gedung DPP PDIP sehubungan keterlibatan politikus PDIP Harun Masiku dalam kasus itu.

Kendati demikian, upaya tersebut digagalkan sejumlah pihak yang meminta surat izin penggeledahan. Saat itu, penyidik KPK memang belum mengantongi izin penggeledahan dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Izin dari Dewan Pengawas tersebut merupakan salah satu aturan baru yang tercantum dalam revisi UU KPK.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar membantah gagalnya penggeledahan di kantor DPP PDIP lantaran kurang memiliki dasar hukum yang kuat. Lili berdalih, saat itu tim Satgas KPK hendak memasang garis KPK, tetapi karena lamanya birokrasi, tim KPK meninggalkan tempat sebelum memasang garis KPK.

"Bahwa tim penyelidik tidak ada rencana menggeledah (belum masuk penyidikan) karena sementara itu masih penyelidikan. Kami mau membuat KPK-line, jadi untuk mengamankan ruangan," ujar Lili menjelaskan.

Selanjutnya, lanjut Lili, KPK akan tetap melakukan penggeledahan dan penyegelan karena kasus sudah masuk dalam tahap penyidikan dan telah berkoordinasi dengan Dewas.

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin juga mengkritisi KPK yang belum juga melakukan penggeledahan di kantor DPP PDIP. “Ini buah dari cara mengubah UU KPK kemarin. Buah dari cara mengubah (Presiden) Jokowi cs dengan partai-partai, mengubah dengan cara brutal, dengan cara yang tidak matang, terburu-buru, tidak pas, inilah buahnya,” kata Arifin, Senin (13/1).

photo
Penyidik KPK memasukan koper kedalam mobil usai melakukan penggeledahan di Jakarta, Senin (13/1). KPK menggeledah ruang kerja Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan selama delapan jam terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR Terpilih Periode 2019-2024.

Geledah KPU

Sementara itu, KPK akhirnya menggeledah Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (13/1). Plt Jubir KPK Bidang Penindakan Ali mengatakan, penggeledahan di kantor KPU Pusat dilakukan KPK untuk mencari bukti tambahan terkait kasus dugaan suap pemulusan proses PAW anggota DPR yang menjerat mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerimaan suap terkait PAW anggota DPR periode 2019-2024. KPK juga turut menetapkan tersangka mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, caleg DPR dari PDIP Harun Masiku, serta seorang swasta bernama Saeful.

KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total sebesar Rp 900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.

Ketua KPU RI Arief Budiman menuturkan, yang kemarin digeledah hanya ruangan Wahyu Setiawan. Ia mengatakan, sebelumnya KPK telah menyegel ruangan Wahyu Setiawan sejak sebelum ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis (9/1) pagi.

Ia menyampaikan, KPU terbuka dan secara kooperatif siap bekerja sama apabila KPK memerlukan klarifikasi, informasi, atau dokumen tambahan yang dibutuhkan. "Prinsipnya, KPU terbuka kooperatif siap bekerja sama bilamana diperlukan klarifikasi, informasi tambahan, dokumen, kan kita belum tahu apa yang dibutuhkan apa, nanti kita siap hadir dan sedia," ujar Arief. n mabruroh/mimi kartika/dian fath risalah, ed: fitriyan zamzami

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement