Kamis 16 Jan 2020 07:40 WIB

Suap PAW, PDIP Sebut Ada Oknum KPK Salahgunakan Wewenang

PDIP menuding ada oknum di KPK yang menyalahgunakan wewenang di kasus suap PAW.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (tengah) didampingi Ketua DPP Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan Yasonna Laoly (kedua kiri), Ketua DPP Bidang Hubungan Luar Negeri Ahmad Basarah (kiri) serta tim hukum PDIP Teguh Samudera (kedua kanan) dan I Wayan Sudirta (kanan) saat menyampaikan keterangan pers di kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (tengah) didampingi Ketua DPP Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan Yasonna Laoly (kedua kiri), Ketua DPP Bidang Hubungan Luar Negeri Ahmad Basarah (kiri) serta tim hukum PDIP Teguh Samudera (kedua kanan) dan I Wayan Sudirta (kanan) saat menyampaikan keterangan pers di kantor DPP PDIP, Jakarta, Rabu (15/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim hukum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menuding adanya penyalahgunaan wewenang oleh oknum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus Wahyu Setiawan. Tim hukum menilai bahwa hal tersebut pada akhirnya merugikan PDIP.

Anggota Tim Hukum PDIP, Maqdir Ismail mengungkapkan, misalkan saja surat perintah penyelidikan (sprilindik) KPK dalam kasus dugaan suap itu diteken pada 20 Desember 2019. Menurut Maqdir, waktu itu sangat pendek bila mengingat Surat Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur pemberhentian pimpinan KPK jilid IV Agus Rahardjo Cs yang jatuh pada 21 Oktober 2019.  Sementara, sambungnya, dalam Keppres itu juga dikatakan pengangkatan terhadap pimpinan baru akan dilakukan pada 20 Desember.

Baca Juga

"Artinya ketika 21 Oktober mereka diberhentikan dengan hormat sampai dengan 20 Desember, sebelum pimpinan baru disumpah, pimpinan KPK itu tidak diberi kewenangan secara hukum untuk melakukan tindakan-tindakan apa yang selama ini jadi kewenangan mereka," katanya di Jakarta, Rabu (15/1).

Maqdir juga mengingatkan bahwa salah satu pimpinan KPK saat itu, Saut Situmorang telah menyatakan mundur dari lembaga antirasuah itu pada 13 September 2019. Lalu, Saut bersama Agus Rahardjo dan Laode M Syarif juga mengikuti langkah serupa dengan menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi pada 12 September 2019.

Dia mengatakan, oleh karena itu apa yang dilakukan penyidik KPK tanpa persetujuan pimpinan lembaga antirasuah itu merupakan bagian dari pembangkangan hukum yang berlaku. Menurutnya, kegiatan pimpinan komisi antirasuah dengan Undang-undang KPK lama itu bersifat kolektif kolegial.

"Ketika ada tiga orang yang sudah mengundurkan diri, mestinya tidak sah, tidak bisa dilakukan proses hukum oleh mereka. Itu saya kira yang penting," jelas Maqdir.

Maqdir menganggap banyak tindakan KPK terhadap kasus ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Maqdir juga melihat ada upaya oknum-oknum lembaga antirasuah itu menghindar dari Undang-undang KPK yang baru dengan tidak melibatkan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Menurut Maqdir, dengan Undang-undang yang lama pun, tindakan oknum penyidik KPK jauh dari prosedur hukum. "Sekali lagi, saya mau tegaskan bahwa antara 21 Oktober sampai 20 Desember itu, lima orang pimpinan KPK tidak punya kewenangan lagi," jelas Maqdir.

Sementara itu, tim kuasa hukum lainnya, Teguh Samudera mengingatkan bahwa Undang-undang KPK baru diundangkan pada 17 Oktober 2019. Karena itu, menurut Teguh, apapun tindakan yang dilakukan setiap orang di KPK secara kelembagaan, harus mengacu pada Undang-undang terbaru tersebut.

"Sehingga setelah 17 Oktober 2019, tindakan apa pun yg dilakukan oleh penyidik harus taat pada Undang-undang baru. Harusnya yang dilakukan KPK itu mengikuti ketentuan dalam UU itu," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement