REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia menolak pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait tragedi Semanggi I dan II dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI pada Kamis (16/1) kemarin. Amnesty tetap menilai, tragedi Semanggi I dan II pelanggaran HAM Berat yang harus dituntaskan.
“Pernyataan itu tidak kredibel jika tanpa diikuti proses penyidikan yudisial melalui pengumpulan bukti yang cukup berdasarkan bukti awal dari penyelidikan Komnas HAM, yang sayangnya tidak ditindaklanjuti Kejaksaan Agung dengan melakukan penyidikan," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Jumat (17/1).
Usman menilai, tragedi Semanggi satu dan dua jelas pelanggaran berat HAM dan korban. Sampai saat ini, kata Usman, kasus itu masih menunggu keadilan. Amnesty Internasional khawatir pernyataan Jaksa Agung itu menggiring ke upaya penyelesaian kasus melalui jalur non-hukum.
“Pernyataan Jaksa Agung itu bukti kemunduran perlindungan HAM, dan pastinya kemunduran juga bagi penegakan keadilan," ujar Usman.
Pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung ST Burhanuddin melakukan rapat kerja dengan Komisi III DPR RI. Dalam pertemuan itu, merujuk hasil Rapat Paripurna DPR 2001, ia menyebut bahwa tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat, seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pernyataan Jaksa Agung itu bertentangan dengan temuan Komnas HAM. Komnas telah menyerahkan laporan penyelidikan pro-justitia kepada Kejaksaan Agung, dengan temuan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan benar-benar terjadi dan merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad-hoc, yang tidak pernah terlaksana.
"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," ujar Burhanuddin, Kamis (17/1).
Pada 2018, dalam pertemuan dengan Komnas HAM, Presiden Jokowi menyebut bahwa pemerintahannya akan memastikan pelaku pelanggaran HAM berat akan diadili. Tragedi Semanggi I dan II sendiri terjadi sepanjang aksi protes mahasiswa di bulan November 1998 dan September 1999 setelah kejatuhan Soeharto. Sebanyak 17 warga sipil tewas dan 109 lainnya terluka dalam insiden Semanggi I. Sementara dalam tragedi Semanggi II, 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya menjadi korban luka.
Sejumlah polisi dan tentara diadili akibat insiden penembakan itu, tetapi banyak pihak mengklaim pengadilan terhadap mereka gagal memenuhi keadilan bagi para korban dan gagal mengungkap dalang di balik penembakan.