REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan aktivis 98 Adian Napitupulu mengaku kecewa dengan pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Adian mengaku sakit hati,
"Saya juga sakit hati. Saya juga kecewa karena Kejaksaan Agung itu lembaga penegakan hukum, DPR itu lembaga politik. Pernyataan politik tidak kemudian serta merta menghilangkan peristiwa hukumnya dan kejahatan hukumnya," katanya, Ahad.
Hal itu disampaikan anggota Komisi I DPR RI itu usai diskusi bertajuk "Ada Apa Dengan Wahyu Setiawan" di Jakarta.
Politikus PDI Perjuangan itu mengingatkan agar jangan sampai disamakan antara pernyataan politik dan penegakan hukum. Sebab sebuah tindak kejahatan tidak hilang karena pernyataan politik.
"Kalau ada orang salah, dia salah atau benar bukan karena pernyataan politik. Dia salah atau benar karena hukum memutuskan dia salah atau benar," ucapnya menegaskan.
Adian sepakat dengan pernyataan Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery yang menegaskan bahwa lembaga legislatif tidak berhak menentukan status sebuah kasus apakah termasuk sebuah kejahatan atau bukan.
"Pernyataan DPR adalah pernyataan politik, bukan pernyataan lembaga hukum. Yang kita minta apa, penegakan hukum. Siapa yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum untuk pengusutan pelanggaran HAM, salah satunya Komnas HAM," tuturnya.
Pernyataan Jaksa Agung tersebut diduga merujuk kepada rekomendasi Pansus DPR pada 2001. Padahal, keputusan politik DPR pada periode tersebut bukan merupakan keputusan hukum seperti kewenangan yang dimiliki yudikatif.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR pada Kamis (16/1) menjelaskan perkembangan perkara HAM berat.
Dia mencontohkan, peristiwa Semanggi I dan Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
"Lalu peristiwa dukun santet ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998 dan 1999, peristiwa Talangsari Lampung tahun 1989, peristiwa Wasior tahun 2001 dan Wamena tahun 2003 para pelaku telah disidangkan di pengadilan umum dan telah berkekuatan hukum tetap, namun untuk kasus HAM berat penyelidik belum memeriksa dugaan pelakunya," katanya.
Dalam peristiwa Talangsari Lampung tahun 1989, menurut dia, alat bukti dan barang bukti dugaan pelaku belum terungkap.