Rabu 22 Jan 2020 00:01 WIB

Serikat Buruh Geram dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Omnibus Law dianggap bisa memangkas pendapatan buruh.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Teguh Firmansyah
Buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang omnibus law cipta lapangan kerja di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Senin (20/1).
Foto: Republika/Prayogi
Buruh menggelar aksi unjuk rasa menentang omnibus law cipta lapangan kerja di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Senin (20/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat pekerja dan buruh menolak hadirnya Omnibus Law Cipta Lapangan kerja. Setidaknya ada enam hal yang menjadi poin penolakan mereka atas hadirnya aturan baru ini.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Mirah Sumirat menyebut enam poin ini dinilai sangat mengusik dan membuat para buruh marah. Poin pertama yang menjadi pembahasan adalah adanya upah yang dihitung berdasarkan jam kerja.

Baca Juga

Hal ini dinilai akan menghapus upah minimum (UMP) yang selama ini telah diatur oleh pemerintah.

"Misal upah perjam itu Rp 20 ribu, dan dalam sehari si A kerjanya delapan jam. Berarti sehari dia dapat 160 ribu. Tapi kalau buruh ini kan ada yang tidak kerja penuh satu bulan. Kalau dia hanya kerja selama dua minggu, maka ini di bawah upah minimum dan efeknya menghapus UMP," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (21/1).

Hal kedua yang dipermasalahkan terkait upah pesangon. Ia menyebut kehadiran upah per jam akan mempengaruhi upah pesangon yang didapat oleh pekerja. Hitungan upah pesangon didapat dari berapa gaji yang didapat selama sebulan.

Mirah menyebut upah pesangon ini rencananya akan diganti dengan tunjangan pengangguran selama enam bulan. Jumlahnya tentu tidak sepadan dengan upah pesangon yang bisa didapat oleh pekerja.

Terkait upah perjam yang diberlakukan, ia menyebut akan berdampak pula pada jaminan sosial yang didapat pekerja. Di antaranya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Pengitungan jaminan sosial ini lagi-lagi didasarkan pada upah minimum perbulan yang didapat oleh pekerja. Jika upah pokok saja tidak jelas, maka penghitungan untuk jaminan sosial pun akan menjadi kabur.

"Berikutnya yang kita tolak adalah perluasan income tenaga asing. Sebelum omnibus law ini saja, sudah ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 229 tahun 2019 yang membuka ruang untuk lebih dari 100 sektor. Kalau ada omnibus law, itu semua pekerjaan bisa dimasuki tenaga asing," lanjutnya.

Mirah menyayangkan aturan ini yang dinilai tidak ramah pada anak bangsa. Ia menyebut aturan ini hanya akan merugikan rakyat Indonesia dan membuat mereka tidak memiliki masa depan.

Terakhir, poin yang ditolak oleh serikat buruh adalah penghilangan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan. Aturan yang dimaksud diantaranya memberikan kesejahteraan bagi pekerja seperti jaminan sosial dan kesehatan.

Ia pun mendorong pemerintah untuk duduk bersama dan membahas perihal isi omnibus law ini. Menurutnya, omnibus law cipta lapangan kerja peruntukannya bagi pekerja dan menyejahterakan, bukan membuat permasalahan baru.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement