REPUBLIKA.CO.ID, Jumlah Muslim Amerika yang berpartisipasi dalam pemilu sela pada 2018 bersejarah. Salah satu faktor yang melatarinya adalah meningkatnya Islamofobia.
Pernyataan ini mengutip Emgage, sebuah organisasi yang memantau partisipasi sipil. Pada 2018, Institute for Social Policy and Understanding (ISPU) sempat merilis poling tahunan ketiganya. ISPU menemukan bahwa kejahatan kebencian terhadap Muslim di AS telah meningkat ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu tak dapat dipisahkan dari kampanye kepresidenan Trump yang mengikuti pilpres AS pada akhir 2016.
Kendati demikian, merebaknya fenomena dan kasus Islamofobia di AS telah mendorong Muslim di sana untuk terlibat lebih aktif secara politik, termasuk dalam politik elektoral.
Menurut ISPU, motivasi utama mereka adalah hendak mengubah apa yang dilihatnya sebagai pergeseran bias di negaranya.
"Sisi baiknya dari semua ini adalah bahwa selama beberapa tahun terakhir umat Islam terus mengalami kenaikan dalam persentase yang melaporkan terdaftar untuk memilih," ungkap Direktur Penelitian ISPU, Dalia Mogahed kala itu.
"Sementara banyak hal menjadi lebih sulit, respons dalam banyak kasus adalah keterlibatan yang lebih besar, bukan isolasi. Muslim (AS) kurang puas dengan arah negara tetapi mereka lebih terlibat secara politik," kata Mogahed menambahkan. Mogahed diketahui pernah menjabat sebagai penasihat urusan Muslim selama era pemerintahan Barack Obama.
Berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan ISPU, hampir 75 persen Muslim di AS mengatakan mereka terdaftar untuk berpartisipasi dalam pemilu pada 2018. Jumlah itu meningkat tujuh persen dibandingkan hasil jajak pendapat yang dilakukan ISPU pada 2017.
Selain Rashida Tlaib dan Ilhan Omar, terdapat puluhan calon Muslim lainnya yang berkontestasi dalam berbagai pemilihan di seluruh AS pada 2018, mencakup pemilihan jabatan di dewan kota dan gubernur.