REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan hidup Malcolm X memang cukup singkat. Usianya belum genap 40 tahun tatkala menghembuskan nafas terakhir. Akan tetapi, tindakan, pemikiran, dan perkataannya terus menginspirasi siapa pun yang mendambakan keadilan dan kesetaraan rasial di manapun berada.
Popularitas Malcolm melejit sejak dirinya bergabung dengan Nation of Islam (NOI). Bahkan, namanya kemudian disebut-sebut lebih bersinar daripada pemimpin NOI kala itu, Elijah Muhammad. Ketika pecah kongsi dengan Elijah dan akhirnya mendirikan organisasi lain, nama lelaki berkaca mata itu sudah dikenal tak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga dunia. Pemberitaan tentangnya cukup marak melalui media-media massa.
Namun, bagi Malcolm, popularitas hanyalah jalan untuk lebih memasifkan ide perjuangan kesetaraan rasial. Sebuah momen yang membuka mata batinnya tentang makna kesetaraan adalah ibadah haji.
Pada April 1964, atau kurang setahun dari kematiannya, Malcolm X berangkat ke Tanah Suci. Ia disokong dana dari seorang saudara tirinya.
Sesampainya di Jeddah, Arab Saudi, otoritas lokal sempat meragukan keislamannya. Dengan bantuan seorang penulis, Abdul Rahman Hassan Azzam, pihak imigrasi akhirnya dapat diyakinkan bahwa Malcolm X adalah seorang Muslim.
Perjalanannya berlanjut ke Haramain. Pemandangan di Masjidil Haram membuat Malcolm X terkesima.
Ia melihat, lautan manusia berkumpul. Mereka berasal dari berbagai ras, suku, dan bangsa. Semua tumpah ruah di Masjidil Haram, melakukan thawaf bersama.
Mereka tidak tersekat-sekat satu sama lain. Semuanya tampak khidmat dan setara sebagai sama-sama hamba Allah yang beriman. Bagi Malcolm, pemandangan ini sungguh memesona.
Dalam surat tertanggal 26 April 1964 kepada kawan-kawannya di Amerika, Malcolm menulis, "Saya melihat dalam mata biru mereka (jamaah haji kulit putih--Red) dan menyaksikan bahwa mereka menganggap saya pun sebagai saudara. Keyakinan mereka kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, telah menghapuskan stigma `kulit putih' di pikiran mereka, mengubah sikap dan tindakan terhadap orang-orang yang berbeda warna kulit."
Ibadah haji membuka kesadaran-baru dalam dirinya.
Sebelumnya, Malcolm selalu berkeyakinan tentang keunggulan ras kulit hitam serta menganggap bahwa orang-orang kulit hitam dan kulit putih mustahil bersatu.
Faktanya, jamaah di Tanah Suci membuktikan bahwa persatuan dalam keberagaman bisa terjadi. "Sungguh, apa yang telah saya saksikan dan alami dalam perjalanan haji ini memaksa saya mengubah anggapan tentang banyak hal selama ini!" tulisnya lagi.