REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Dr Fahri Bachmid, mengatakan pemerintah perlu formulasi hukum khusus terkait wacana pemulangan 600 orang mantan anggota ISIS asal Indonesia. Pemulangan WNI eks anggota ISIS yang menuai polemik tersebut perlu ditinjau dalam konteks konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Fahri Bachmid, dalam keterangan tertulis yang diterima, Ahad (9/2), mengatakan, setiap orang bebas memilih dan menentukan kewarganegarannya. Hal ini telah diatur dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Menyikapi soal ini tidak terlepas dari dimensi hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi (UUD NRI Tahun 1945)," kata dia.
Dari sisi teknis yuridis, dia menjelaskan, memang terdapat sedikit kompleksitas jika menggunakan instrumen UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. "Ini tentu membutuhkan kajian dan pendalaman dari segi teori, doktrin, serta kaidah hukum internasional sepanjang berkaitan dengan eksistensi dan kedudukan ISIS sebagai subjek hukum internasional," katanya.
Menilik subyek hukum internasional, ISIS termasuk dalam pemberontak, khususnya kelompok Belligerent atau pihak yang bersengketa. Namun, lanjut Fahri, menjadi sulit secara hukum jika eks-ISIS itu dikualifikasi sebagai warganegara yang telah secara sukarela mengangkat sumpah/janji setia kepada negara asing/bagian dari negara asing.
"Karena secara konseptual maupun hukum internasional ISIS tidak dapat dikategorikam sebagai negara, karena tidak memenuhi unsur-unsur negara, sehingga ISIS merupakan subjek hukum bukan negara (non-state entities).
Hal ini harus dimatangkan dan perlu dikaji secara mendalam dan hati hati. "Ketika membangun konstruksi hukum sekaitan dengan larangan mereka untuk masuk kembali ke indonesia tetap sejalan dengan argumentasi yang berbasis legal-konstitusional, dan tidak melawan hukum," kata Fahri Bacmid.
Ia menambahkan, WNI eks-ISIS ini secara hukum telah stateless atau tanpa kewarganegaraan. Jika suatu waktu atas dasar hak konstitusional dan kemanusiaan Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mereka dipulangkan ke tanah air, menurut dia, beberapa instrumen dan payung hukum perlu disiapkan untuk mengatur tentang proses identifikasi.
Misalnya, identifikasi mana WNI yang menjadi pelaku aktif (kombatan), mana yang sekadar korban. Ini untuk mengetahui mana yang levelnya very dengerous karena sangat radikal dan ekstrem sampai pada level yang risikonya sangat kecil.
Pemahaman ini sekaligus mengetahui penanganan yang bakal ditempuh apakah proses assesment, deradikalisasi, termasuk pengaturan leading sector-nya, apakah di bawah tanggung jawab BNPT atau siapa. "Yang paling penting adalah tingkat penerimaan masyarakat setempat,yang tentunya melibatkan Pemerintah daerah karena mengatur tentang tanggung jawab dan sebagainya,
"Hal hal ini yang harus dikaji secara cermat dan komprehensif oleh pemerintah," jelasnya.
Setelah semua proses itu dilalui baru selanjutnya mereka diwajibkan untuk menjalani proses administrasi Pewarganegaraan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 8 sampai dengan pasal 16 UU No. 12/2006. Pasal 16 mengatur tentang Sumpah atau Pernyataan Janji Setia kepada Negara Republik Indonesia.