Selasa 11 Feb 2020 12:30 WIB

Mengenal Omar Ibnu Said (1)

Kongres AS menerbitkan autobiografi Omar Ibnu said.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
Mengenal Omar Ibnu Said. Foto: Omar Ibnu Said
Foto: Wikipedia
Mengenal Omar Ibnu Said. Foto: Omar Ibnu Said

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 17 Januari 2019 lalu, perpustakaan Kongres AS menerbitkan autobiografi Omar Ibnu Said dalam versi digital yang bisa diakses melalui situs daring. Kendati demikian, autobiografi Omar yang ditampilkan tetap dalam bahasa Arab seperti naskah aslinya.

Perpustakaan yang berbasis di Washington ini mengoleksi 42 dokumen karya Omar Ibnu Said, termasuk 15 halaman di antaranya mengisahkan tentang dirinya sendiri. Tulisan Omar banyak menyoroti tentang sejarah awal Islam dan Muslim di Amerika Serikat.

Baca Juga

Ada sejumlah narasi yang saling bertentangan tentang Omar Ibnu Said. Pertanyaan muncul tentang apakah budak dari Senegal yang menulis dalam bahasa Arab ini seorang cendekiawan yang menghafal ayat-ayat Alquran dan menguasainya, atau apakah ia seorang Muslim yang taat? Adapula yang menyebutkan bahwa Omar Ibnu Said kemudian masuk Kristen.

Lantas, siapakah Omar Ibnu Said itu, yang tulisannya dalam bahasa Arab itu kemudian jadi penelitian  baru?

Artikel dalam situs berita Religion News Service menuliskan tentang sosok Omar Ibnu Said. Omar lahir dan memperoleh pendidikan di Senegal, Afrika Barat. Pria yang lahir pada 1770 silam ini merupakan seorang cendekiawan Muslim kulit hitam yang ditangkap di Senegal pada 1807 dan kemudian diangkut dengan kapal Charleston, South Carolina, AS. Ia akhirnya melarikan diri ke North Carolina dan menjalani hari-harinya sebagai budak rumah bagi James Owen dan saudara Owen, yang pernah menjadi Gubernur North Carolina. 

Saat ini, dua profesor universitas North Carolina tengah mengedit terjemahan dan transkripsi komprehensif pertama dari 15 dokumen yang ada yang ditulis oleh Said dalam bahasa Arab, termasuk autobiografinya yang singkat. Dalam prosesnya, mereka berharap bisa memperbaiki catatan sejarah tentang polimatik (yang memiliki pengetahuan yang luas) Muslim yang dipandang misterius ini.

Said telah lama menjadi subjek ketertarikan, baik dalam masa hidupnya maupun dalam 156 tahun sejak kematiannya. Karena itulah, tahun lalu Perpustakaan Kongres menerbitkan versi digital dari autobiografinya. Tidak hanya itu, pemenang Penghargaan Grammy Rhiannon Giddens, yang dikenal karena menjelajahi tradisi rakyat Afrika-Amerika dan mengubahnya menjadi balada, ditugaskan untuk menulis dan melakukan opera berdasarkan autobiografi Said. Opera "Omar" ini akan tayang perdana 22 Mei mendatang di Charleston sebagai bagian dari Spoleto Festival AS.

Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, pada cendekiawan telah mengkritik karya Said. Mereka mengklaim karyanya itu diisi dengan kesalahan tata bahasa dan kelalaian, terutama ketika Said mengutip ayat Alquran. Sementara yang lain berpendapat tulisannya tidak dapat dibaca.

Namun, pada pemeriksaan terbaru, dua cendekiawan dari Duke dan University of North Carolina di Chapel Hill, mengatakan bahwa para peneliti melewatkan sumber-sumber utama Arab Said yang dikutip dalam tulisannya, serta strateginya dalam menggunakan kutipan-kutipan itu.

Kedua cendekiawan itu berbicara di Black Muslim Atlantic Symposium di Duke University. Mereka mengatakan, para cendekiawan telah meremehkan pelatihan intelektual dan ilmiah Said dan kemampuannya menggunakan pelatihan itu untuk menyusun sesuatu yang memiliki makna penting.

Sebab, seorang profesor di departemen Studi Asia dan Timur Tengah di Duke University, Mbaye Bashir Lo, mengatakan banyak legenda yang tumbuh di sekitar Said sejak kematiannya pada 1864 di North Carolina. "Omar sangat disalahpahami dan tidak diketahui," kata Lo, dilansir pada Selasa (11/2).

Di era pasca-Rekonstruksi, banyak orang kulit putih Amerika berpikir Said pasti seorang pangeran Arab yang secara keliru berakhir dalam perbudakan. Sebab, seorang pria kulit hitam asal Afrika disebut tidak mungkin membaca dan menulis dalam bahasa Arab.

Bahkan, kata Lo, banyak orang di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Senegal itu pada abad ke-19 lebih melek daripada rata-rata orang Eropa Barat. Seperti Said, yang mungkin berbicara dalam bahasa Fulani (dia adalah anggota kelompok etnis Fula), karena orang-orang di wilayah itu berbicara berbagai bahasa. Bahasa Arab adalah bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement