REPUBLIKA.CO.ID, Islam senantiasa mengingatkan umatnya agar mampu meredam amarah. Ketika marah, hati dan pikiran tertutup. Tindakan yang dilakukan pun menjadi tidak didasari pada akal pikiran yang sehat, kata-kata yang terlontar juga menjadi tidak terkendali.
Dalam menjalani kehidupan ini, berbagai persoalan acap kali menghampiri. Harapan kadang tidak sesuai dengan kenyataan. Jika keadaan ini tidak diterima dengan lapang, amarahlah yang muncul. Berbagai peristiwa penyiksaan kerap kali muncul lantaran amarah.
Dikisahkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW dan Siti Aisyah RA sedang duduk bersama, lalu datanglah seorang Yahudi mengucapkan, ''Assaamulaikum,'' (kecelakaan bagi kamu), dengan maksud ingin mengusik Rasulullah.
Seketika, Siti Aisyah menjawab, ''Wa'alaikumussaam,'' (kalianlah yang celaka). Mendengar jawaban itu, Rasulullah SAW pun menegur, ''Cukuplah mengucapkan, 'Wa'alaikum,' (juga atas kalian), dan itu sudah cukup''.
Imam Al-Ghazali mengingatkan, kiat untuk mengendalikan amarah, yaitu dengan memahami keutamaan mengendalikan amarah, memaafkan, sikap lemah lembut, dan tegar dengan mengharap ridha serta balasan baik dari Allah SWT.
''Barang siapa yang menghilangkan kemarahannya, Allah SWT akan menghilangkan siksa-Nya padanya.'' (HR Thabrani).
Dalam kitab Aafaatun 'Alaththariq karya Sayyid Muhammad Nuh, 'marah' bermakna tidak rela terhadap sesuatu dan iri dari sesuatu. Bila ditelisik dari segi psikologis, 'marah' dapat dimaknai keadaan jiwa yang menampakkan diri dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh.