REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad Akbar, Ronggo Astungkoro, Antara
Draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja terus menuai polemik dan kontroversi. Belakangan diketahui, terdapat salah satu pasal dalam beleid itu yang akan memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk mengubah undang-undang melalui peraturan pemerintah (PP).
Dalam draf RUU Cipta Kerja BAB XIII tentang Ketentuan Lain-lain, Pasal 170 ayat 1 berbunyi, "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."
Ayat 2 kemudian disebutkan, "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat satu diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP)." Selanjutnya, pada ayat 3, disebutkan, "Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia."
Anggota Komisi II DPR RI Sodik Mujahid mempertanyakan Pasal 170 Omnibus Law RUU Cipta Kerja itu. Menurutnya, pasal itu akan mengacaukan hierarki perundang-undangan, ketatanegaraan, bahkan seperti konsep otoriter.
"Jika hal itu terjadi, dan jangan sampai terjadi. Itu akan mengubah konstitusi. Ini akan jadi perdebatan besar," kata Sodik di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Senin (17/2)
"Akan jadi kemunduran di mana eksekutif akan jadi sangat kuat sehingga menjadi otoriter. Bertentangan dengan semangat reformasi," kata dia lagi.
Selama ini, UU yang disahkan DPR RI bisa direvisi melalui mekanisme Mahkamah Konstitusi (MK). Bila kemudian dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja pemerintah diperbolehkan mengubah UU, maka akan terjadi kekacauan hierarki hukum.
Dengan wewenang eksekutif yang kuat, maka muncul ketidakseimbangan wewenang dalam sistem presidensial. "Nanti UU yang dibuat DPR bisa dibatalkan dengan PP, tentu ini tidak sehat dalam arti fungsi legislatif dan eksekutif," ujar Sodik.
Oleh karena itu, menurut Sodik, DPR pun akan mempertanyakan bagaimana pasal itu muncul dan tertulis dalam draf RUU Cipta Kerja. Ia menegaskan, bagaimanapun, UU tidak boleh memberikan wewenang pada pemerintah pusat untuk mengubah UU yang merupakan kewenangan legislasi.
"Omnibus law tetap levelnya UU, tidak boleh level UU memberikan peraturan di mana yang PP (peraturan pemerintah) bisa menggantikan UU. Kita akan pertanyakan dalam pembahasan nanti dengan DPR," kata Sodik.
"Jadi omnibus law prinsipnya simplifikasi, debirokratisasi, tapi jangan sampak perbaikan melanggar ketentuan dasar. Ini sekali lagi agak aneh," ujarnya menambahkan.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin pun menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa mengubah UU hanya melalui peraturan pemerintah. Azis mensinyalir adanya kesalahan ketik dalam pasal yang tertuang di rancangan undang-undang tersebut.
"Enggak bisa ini, enggak bisa. Secara hukum normatif, PP enggak bisa ubah undang-undang," tegas Azis di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/2).
Pihaknya, kata Azis, akan segera melakukan konfirmasi kepada pemerintah, jika memang hal tersebut merupakan salah ketik. Sebab, saat ini RUU Cipta Kerja masih dalam proses administrasi di Sekretaris Jenderal DPR.
"Nanti dalam pembahasan saja, dalam pembahasan kan bisa dibahas. Kan ini bukan rigid, paten, masih dimungkinkan dilakukan perubahan," ujar Azis.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan juga mengingatkan pemerintah agar tak memangkas kewenangan DPR RI dalam membuat undang-undang. Hal ini disampaikan politikus Demokrat tersebut terkait draf Omnibus Law yang memuat pasal di mana pemerintah bisa mengubah UU.
"Hak melakukan legislasi itu kan ada di DPR," ujar Wakil Ketua Umum Demokrat yang juga Anggota Komisi I DPR RI itu saat dikonfirmasi pada Ahad (16/2).
Syarief menegaskan, selama ini DPR memiliki tiga fungsi. Tiga fungsi itu yakni memuat perencanaan anggaran, membuat aturan, serta melakukan pengawasan. Undang-undang Dasar 1945 telah mengatur bahwa pembuatan UU dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
"Budgeting, legislasi, pengawasan. Jadi itu prinsipnya, itu di undang-undang," ujarnya.
In Picture: Aksi Buruh Tolak Omnibus Law
Salah tik
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, pada prinsipnya undang-undang (UU) tidak bisa diganti lewat Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres). Menurut Mahfud, jika aturan terkait itu ada di dalam Omnibus Law Cipta Kerja, maka kemungkinan terjadi salah ketik.
"Isi UU diganti dengan PP, diganti dengan Perpres itu tidak bisa. Mungkin itu (Pasal 170 Bab XIII Omnibus Law Cipta Kerja) keliru ketik," ujar Mahfud usai melakukan kegiatan di Universitas Indonesia, Depok, Senin (17/2).
Mahfud mengatakan, ia tidak mengetahui aturan tersebut tercantum dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Menurutnya, kalau memang pasal tersebut ada, maka sebaiknya disampaikan ke DPR dalam proses pembahasan ke depan. Ia menjelaskan, produk peraturan yang dibuat pemerintah dan dapat mengganti UU adalah Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).
"Prinsipnya begini, prinsipnya tak bisa sebuah UU diubah dengan PP atau Perpres. Kalau dengan Perppu bisa," ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengakui ada kesalahan tik dalam Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
"Ya, tidak bisa dong PP melawan UU, peraturan perundang-undangan itu, saya akan cek, nanti di DPR akan diperbaiki mereka bawa DIM (daftar isian masalah) untuk itu, gampang itu, teknis," kata Yasonna di lingkungan Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Senin.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sesuai dengan urutan dari yang tertinggi adalah UUD. Selanjutnya, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR), undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), peraturan daerah (perda) provinsi, dan perda kabupaten atau kota.
"Artinya, tidak mungkin PP mengubah UU, seperti dalam Bab XIII Pasal 170 RUU Cipta Kerja," kata Yasonna.
[video] Apa Itu Omnibus Law?