REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau omnibus law mewacanakan ormas Islam dibolehkan mengeluarkan fatwa halal seperti halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun dilibatkannya ormas Islam dalam memberikan fatwa halal masih belum final dan masih perlu dibahas di parlemen.
Wakil Ketua Umum KH Jeje Zaenudin mengatakan, jika tujuan RUU Cipta Kerja membolehkan ormas Islam mengeluarkan fatwa halal itu untuk mempermudah proses sertifikasi halal atas suatu produk, maka hal itu merupakan langkah positif. Dan masyarakat perlu mendukungnya demi kemajuan, terutama usaha kecil menengah.
"Kami pikir pelibatan ormas-ormas yang sudah siap dan mempunyai lembaga fatwa, suatu hal yang positif untuk mendorong percepatan pertumbuhan para pengusaha kecil dan menengah," kata KH Jeje saat dihubungi, Rabu (19/2).
Kata KH Jeje, jika memang pemerintah dan DPR telah sepakat lembaga selain MUI dalam hal ini ormas Islam yang berbadan hukum dapat mengeluarkan fatwa halal, maka tinggal bagaimana menyamakan dan standardisasi proses dan pengujian kehalalan sebuah produk pada lembaga lembaga fatwa yang ada di ormas ormas tersebut.
"Tetapi jika dilepas kepada beberapa ormas tanpa ada penyamaan atau tidak ada standardisasi proses dan pengujiannya, yang kita khawatirkan ada perbedaan penyimpulan kehalalan atau tidaknya suatu produk sehingga menimbulkan ketidak pastian hukum," katanya.
Jeje mengatakan, jika yang dimaksud fatwa halal yang saat ini masih sebuah produk untuk melabilasasi produk, maka perlu penyamaan persepsi dan proses pengujian produk. Untuk itu dia menyarankan, dibutuhkan juga laboratorium pangan dan obat obatan sebagai alat pengujian bahan-bahan produk oleh setiap ormas yang diberikan kewenangan mengeluarkan fatwa halal.
KH Jeje mengatakan, wacana melibatkan ormas-ormas Islam dalam memberi fatwa halal atas produk makanan dan obat obatan kepada selain lembaga fatwa MUI memang masih perlu dikaji dampak positif dan negatifnya. Sebab, kata dia, dalam masalah penetapan halal dan haram atas produk makanan, minuman dan obat-obatan yang sangat banyak macam dan ragam bahan dasarnya.
"Hal ini tentu bisa membuka peluang perbedaan kesimpulan penetapan kehalalan atau keharamannya," katanya.
Karena kehalalan dan keharaman dalam hal ini yang bersifat ijtihadi yang bisa saja debateble, bukan yang sudah qath'iy atau pasti saja. Menurutnya, jika hal itu terjadi antara satu lembaga fatwa dengan lembaga fatwa yang lain, tentu bisa berdampak kepada ketidak pastian hukum.
"Walau pun di sisi lain mungkin prosesnya bisa lebih simple dan lebih cepat. Ketidak pastian hukum bisa berdampak kebingungan pada konsumen," katanya.
Ketua Dewan Syuro Al-Irsyad Al-Islamiyyah KH Abdullah Al-Djaidi mengatakan, keberadaan MUI saat ini sudah menjadi representasi dari ormas-ormas Islam. Dan Fatwa MUI merupakan wujud fatwa kebersamaan yang diputuskan bersama-sama ormas Islam.
"Fatwa halal pun adalah wewenangnya berada di MUI. Agar tidak terjadi kesimpang siuran," katanya.
Menurut dia, dengan menghapus fatwa MUI sebagai rujukan utama penetapkan produk halal dan melibatkan ormas Islam sebagai tambahan rujukan dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Karena kata KH Abdullah bisa terjadi tarik menarik kepentingan ekonomi dan perbedaan fiqih.
"Sehingga menimbulkan ketidak harmonisan kembali hubungan antar ormas Islam yang saat sekarang ini ukhuwah islamiyyah sudah semakin membaik, tertata rapih dan solid," katanya.
Oleh karena itu kata KH Abdullah, dengan mengokohkan MUI sebagai satu-satunya lembaga fatwa bagi umat Islam Indonesia yang sudah terpresentasikan dari ormas Islam yang sudah ada di dalamnya, maka umat pun tidak akan kehilangan arah.
"Hal ini demi tetap terjaganya persatuan dan mendorong kemajuan bangsa," katanya.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah mengatakan, omnibus law harus difungsikan untuk mengatasi konflik antar peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien. Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah guna mendukung iklim investasi.
"Sehingga dengan omnibus law pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif," katanya.
Berkaitan dengan jaminan produk halal, maka yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah penyederhanaan proses yang berbeda dengan peniadaan ketentuan yang bersifat substantif. Misalnya, fatwa MUI untuk kehalalan produk artinya bahwa sertifikasi halal harus diselenggarakan berdasarkan prinsip keagamaan.
"Karena terminologi halal dan haram adalah hukum agama yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi keulamaan," katanya.
Fatwa produk halal bersifat final dan binding, karena merupakan penetapan fiqih yang hasilnya tidak dimungkinkan lagi dibuka ruang untuk pengujian kembali dam tidak boleh lagi terjadi perbedaan pendapat. Maka dari itu fatwa produk halal harus ditetapkan oleh MUI bukan diserahksn kepada ormas-ormas Islam apalagi oleh orang-perseorangan.
"Untuk menghindari perbedaan fatwa karena harus bersifat final dan binding, maka sudah tepat bahwa penetapan fatwa atas produk halal dilakukan oleh MUI," katanya.