REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum menjawab pertanyaan di atas, satu hal yang harus ditegaskan bahwa, shalat adalah tiang agama dan barangsiapa yang mendirikan shalat berarti menegakkan agama tetapi kalau meninggalkan shalat berarti meruntuhkan sendi-sendi agama.
Mengutip buku Islam Sehari-Hari, karya KH Abdurrahman Nafis, bahwa shalat itulah yang pertama kali nanti dihitung di hari kiamat sebelum amalan yang lain. Maka hendaknya shalat dikerjakan dengan sempurna, sesuai syarat rukunnya, penuh khsyuk dan tepat waktu.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa’: 103)
Lalu bagaimana jika meninggalkan shalat karena sengaja sehingga habis waktu, apakah wajib diqadha (diganti)? Tentu yang harus dilakukan pertama kali adalah beristighfar dan bertobat tidak mengulangi lagi kelalaian meninggalkan shalat. Namun dari aspek hukum fiqih, menurut Kiai Abdurrahman, ulama berbeda pendapat. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat wajib diqadha.
Alasan mereka, shalat itu kewajiban kepada Allah dan kewajiban itu sama dengan utang sedangkan utang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar. Juga diqiyaskan kepada orang yang tidak shalat karena lupa dan tertidur, kalau karena lupa dan tertidur saja wajib diqadha apa lagi kalau sengaja tentu lebih wajib untuk diqadha.
Rasulullah SAW, “Maka hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar.” (HR Bukhari). Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang tertidur kemudian tidak shalat atau karena lupa, maka hendaknya segera melaksanakan shalat setelah ingat atau bangun dari tidur.” (HR Muttafaq ‘Alaih).
Mengutip pendapat Syekh Wahbah Az Zuhaili, Kiai Abdurrahman menjelaskan, orang yang lupa atau tertidur saja masih punya kewajiban untuk mengganti shalat yang tertinggal apa lagi ada unsur kesengajaan tentu itu lebih wajib. (Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh 2/130).
Tetapi sebagian ulama kelompok Zhahiriyah (Abu Muhammad bin Hazm) berpendapat, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat sampai habis waktunya itu tidak boleh diqadha dan dia menanggung dosa nanti di akhirat.
Alasannya, tidak ada nash yang jelas memerintahkan qadha kepada orang yang sengaja meningggalkan shalat. Sedangkan qiyas dengan orang karena lupa atau ketiduran itu tidak boleh dalam ibadah menggunakan qiyas. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juz I: 132)
Lantas bagaimana cara mengganti shalat? Masih dalam buku yang sama, Kiai Abdurrahman menjabarkan cara mengganti shalat yang tertinggal sama dengan shalat pada waktunya baik syarat dan rukunnya, yang berbeda hanya ‘niatnya’ ketika takbiratul ihram. Yang seharusnya lafadz (adâ’an) diganti dengan lafadz (qadhâ’an). Begini contoh redaksinya:
أصلي فرض الصبح ركعتين مستقبل القبلة قضاء لله تعالى
Usholli fardha as-subhi rak’ataini mustaqbil al-qiblati qadhâan lillâhi ta’âla. Allâh akbar. Namun walaupun niatnya adâ’an dan tidak niat qadhâ’an kalau sudah shalat sehabis waktunya maka dengan sendirinya menjadi qadhâ’. Usahakan shalat tepat waktu karena amal yang paling utama adalah shalat tepat waktu.
Dan shalat yang ditinggalkan tidak harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang sama. Artinya zhuhur boleh diqadha di waktu Asar, maghrib atau isya, tidak harus menunggu waktu zhuhur keesokan harinya, begitu juga dalam satu waktu boleh mengqadha beberapa shalat sekaligus, sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah pada Perang Khandaq.