Senin 24 Feb 2020 11:29 WIB

Dampak Medis Donor Sperma, Donor Ovum, dan Surogasi

Donor sperma, ovum, dan surogasi mendatangkan dampak medis tertentu.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Ilustrasi ibu hamil. Donor sperma, ovum, dan surogasi mendatangkan dampak medis tertentu.
Foto: pixabay
Ilustrasi ibu hamil. Donor sperma, ovum, dan surogasi mendatangkan dampak medis tertentu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di luar negeri, praktek donor sperma, donor sel telur (ovum), maupun penyewaan rahim sudah banyak dilakukan. Di Indonesia, hal ini dilarang. Sebenarnya apa dampak medis bagi mereka yang melakukannya?

Penyakit keturunan

Baca Juga

Ahli embriologi Harris Harlianto menjelaskan, ada dampak medis dari praktik donor sperma maupun ovum. Pendonor memang tidak menghadapi masalah kesehatan apapun dari pemberian spermanya. Lain halnya dengan janin yang mungkin tumbuh dari pembuahan sel telur oleh sperma donor.

Untuk mencegah risiko kesehatan keturunan, pendonor sperma haruslah sehat. Sebelum melakukan donor, pendonor harus melalui berbagai skrining. Ini untuk memastikan agar pendonor tidak mewarisi penyakit menular.

"Dari sperma bisa menular juga penyakit keturunan. Dari semennya sendiri bisa keluarkan penyakit macam-macam. Tapi pasti semua di-skrining dulu. Artinya, kalau fasilitas memadai dampaknya sudah di eliminasi," jelasnya

Perubahan hormon

Pendonor sel telur harus mendapatkan stimulasi berupa suntikan atau injeksi hormonal terlebih dahulu untuk membantu produksi sel telur. Sebab, sel telur yang dibutuhkan tidak hanya satu, tapi cukup banyak.

Proses stimulasi hormonal bisa berdampak pada perempuan yang menjalaninya. Mereka akan menderita karena adanya perubahan hormonal dan lainnya. Kondisi ini bisa terjadi berbulan-bulan.

"Mereka akan dibius saat proses mengambil sel telur. Prosesnya lebih rumit dan perempuan yang menjalaninya lebih menderita," jelas Harris.

Setelah dininjeksi, prosesnya satu siklus, seperti program bayi tabung. Disuntik 12 hari, sebulan prosesnya. Sesuai protokol satu sampai dua bulan.

"Makanya lebih mahal. Kalau donor sperma tidak terlalu mahal. Mungkin dibawah 1.000 dolar, kalau donor sel telur bisa 10 ribu dolar ke atas," ungkapnya.

Setelah itu, ovum dipanen dan juga disimpan di bank. Penyimpanan sel telur atau donor sel telur biasanya dilakukan pada perempuan yang terkena kanker karena kemoterapi bisa merusak sel telur. 

Kasus lain juga bisa dilakukan pada perempuan yang ovariumnya harus diangkat. Sel telurnya dapat disimpan atau diamankan.

"Fasilitas banking itu sesuatu yang kita butuhkan," kata Harris yang juga kepala Lab IVF Bandung Fertility Center, Jawa Barat.

Hiperstimulasi ovarium

Pendonor ovum bisa saja mengalami sindrom hiperstimulasi ovarium (OHSS). Ini adalah efek samping yang umum dari terapi kesuburan, terutama akibat obat-obatan yang digunakan selama program fertilisasi in-vitro (IVF).

OHSS merupakan kumpulan gejala yang terjadi ketika ovarium (indung telur) bereaksi berlebihan terhadap obat dan menghasilkan terlalu banyak kantung telur (folikel). Umumnya, ini pada pasien bayi tabung.

Perempuan yang akan melakukan hal tersebut akan mendapatkan injeksi hormon perangsang folikel atau follicle stimulating hormone (FSH). FSH berfungsi untuk memacu pertumbuhan dan kematangan folikel atau sel telur dalam ovarium dan juga berpengaruh pada peningkatan hormon estrogen.

Saat pemberian hormon ini, dosis ditentukan tergantung usia, cadangan ovarium diperiksa masih banyak atau tidak. Setelah disuntik hormon, hari kelima penyuntikan akan dilihat berapa banyak folikel yang berkembang berapa ukuran diameternya.

Langkah itu dilakukan untuk menghindari respons yang berlebih. Kalau ada repsons berlebih, dosis FSH harus diturunkan. Dokter harus bisa mengantisipasi, memiliki protokol untuk meneteralisirnya.

"Sebenarnya secara prosedur, kami antisipasi supaya tidak terjadi OHSS. Harus dilakukan ketat oleh dokter kandungan, dipantau, tidak sembarang dokter bisa berikan stimulasi itu, harus dokter kandungan sub spesialisasi fertilitas," ujar Harris.

OHSS bisa terjadi mulai derajat ringan, sedang, sampai berat. Biasanya yang risiko tinggi, memang di awal pasien sudah ada kelainan Sindrom polikistik ovarium (PCOS), yaitu penyakit ketika ovum atau sel telur pada perempuan tidak berkembang secara normal karena ketidakseimbangan hormon.

"Biasanya untuk donor perempuan PCOS ini tidak dipakai," ujarnya.

Kategori ringan, sedang dan berat, biasanya bisa dilihat setelah injeksi dibantu pemeriksaan USG. Selesai USG, level hormon estradiol akan diukur dari sampel darah.

Selain itu, kalau jumlah folikel yang berkembang lebih dari 20, level estradiolnya bisa mencapai di atas 4000. Harris menyatakan, itu risikonya berat sehingga perlu ada pemantauan untuk menghindarinya.

"Tapi biasanya kalau dipanen, sel telur diambil, dampak OHSS akan berkurang. Yang jadi masalah dalam OHSS, kalau sudah dipanen, embiro ditanam, ibunya hamil, itu komplikasi makin menjadi. Tapi kalau sel telur diambil, setelah itu akan turun, akan rendah dengan sendiri," jelas Harris.

Dampak lainnya adalah perasaan tidak nyaman pada ibu pendonor ovum atau yang akan melakukan bayi tabung. Sebelum dipanen sel telurnya, volume ovarium jauh membesar. folikel berkembang, dan sel telur banyak. Hal ini membuat perut kencang dan jadi tidak nyaman.

Sewa rahim

Sementara itu, surrogate mother atau ibu pengganti yang rahimnya disewa untuk kehamilan tentunya akan mengalami dampak medis layaknya perempuan hamil. Ibu pengganti pun memiliki risiko yang sama seperti ibu hamil lainnya.

"Dari kondisi normal jadi hamil, perempuan tentu mengalami perubahan hormonal, banyak ketidaknyamanan kalau hormonnya berubah," ucap Harris.

Di lain sisi, Harris mengatakan, surogasi tidak akan menimbulkan masalah pada ibu pengganti meskipun sel sperma berasal dari pria manapun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement