REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah sudah mulai menyusun peraturan pelaksana dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Peraturan itu meliputi 36 rancangan Peraturan Pemerintah (PP) dan tujuh rancangan Peraturan Presiden (Perpres).
Airlangga mengatakan, peraturan pelaksana itu dirancang secara paralel sembari menunggu pembahasan RUU Cipta Kerja di tingkat DPR. “Implementasinya nantinya menyesuaikan terhadap persetujuan yang dicapai," ujarnya dalam Business Law Forum 2020 di Jakarta, Kamis (5/3).
Selain dua regulasi itu, Airlangga menambahkan, pelaksanaan UU Cipta Kerja juga akan merevisi sejumlah peraturan daerah. Khususnya yang terkait dengan proses perizinan berusaha, pengawasan dan pengenaan sanksi.
Tapi, Airlangga belum dapat menyebutkan berapa banyak peraturan daerah yang akan diubah. Sebab, Kementerian Dalam Negeri masih melakukan inventarisasi terhadap regulasi yang memang dipandang menghambat pelaksanaan investasi maupun penciptaan kerja di daerah.
Saat ini, draf RUU Cipta Kerja sudah sampai di meja legislatif dan akan dibahas setelah masa resesi. Airlangga berharap, regulasi tersebut dapat rampung dalam hitungan dua sampai tiga masa sidang.
Keberadaan regulasi itu, disebutkan Airlangga, menjadi momentum pemerintah untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan less birocration. "The jungle regulation kini sedang diperbaiki," ujarnya.
Dalam proses perumusan RUU Cipta Kerja, Airlangga memastikan pemerintah akan melibatkan pihak pemangku kepentingan terkait. Tidak hanya pihak legislasi, juga dunia usaha dan serikat buruh maupun pemerintah daerah.
Proses partisipasi masyarakat akan dilakukan dalam rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat di DPR. Dalam pertemuan ini, diharapkan pemerintah bisa menentukan daftar inventarisasi masalah yang dapat diselesaikan dalam UU Cipta Kerja.
Sementara itu, Founding Partner Assegaf Hamzah & Partners (AHP) Ahmad Fikri Assegaf menekankan, pemerintah sebaiknya tidak perlu terburu-buru dalam merancang peraturan pelaksana UU. "Ketika PP dikeluarkan dengan terburu-buru, nanti ketika dilaksanakan akan banyak permasalahan," ucapnya dalam kesempatan yang sama.
Di sisi lain, Fikri mencatat, rekam jejak pemerintah dalam membuat pelaksana turunan memang terbilang lambat. Salah satunya dalam merumuskan PP untuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang membahas mengenai spin off. Sampai saat ini, regulasi tersebut nyatanya belum rampung.
Rekam jejak itu dikhawatirkan kembali terjadi pada RUU Cipta Kerja. Apalagi, beleid sapu jagat ini memiliki banyak poin yang harus diperjelas lagi dalam bentuk peraturan pelaksana turunan. "Setidaknya, ada 456 materi yang harus diturunkan ke PP. Dari definisi usaha yang harus memiliki izin AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan sebagainya," ujarnya.