Kamis 05 Mar 2020 22:18 WIB

Belum Ada yang Jadi Justice Collaborator di Kasus Jiwasraya

Kejakgung belum menerima permohonan untuk jadi Justice Collaborator kasus Jiwasraya

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Bayu Hermawan
Masa depan Jiwasraya di ujung tanduk.
Masa depan Jiwasraya di ujung tanduk.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejakgung), Ali Mukartono mengatakan belum ada pihak yang mengajukan diri menjadi justice collaborator dalam membantu penyidikan kasus dugaan korupsi dan pencucian uang (TPPU) PT Asuransi Jiwasraya. Saat ini Kejakgung telah menetapkan enam tersangka dalam kasus tersebut.

"Saya belum mendapat laporan. Tetapi, setahu saya memang belum ada sih," kata Ali saat ditemui di Gedung Pidsus Kejakgung, Jakarta, Kamis (5/3).

Baca Juga

Ali mengatakan menjadi JC, harus berangkat dari pengajuan tersangka yang dimohonkan langsung kepada penyidik. Dalam penyidikan Jiwasraya, Kejakgung sudah menetapkan enam orang tersangka.

Enam tersangka itu, antara lain; Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, dan Joko Hartono Tirto. Tiga tersangka tersebut, berasal dari kalangan pebisnis tambang, properti dan manajer investasi. Sedangkan tiga tersangka lainnya, yakni para mantan petinggi pada PT Asuransi Jiwasraya, yakni Hendrisman Rahim, Harry Prasetyo, dan Syahmirwan.

Tetapi kata Ali, enam tersangka tersebut, belum ada yang mengajukan diri sebagai JC. Sebagai jaksa tertinggi pada direktorat pidana khusus Kejakgung, Ali mengatakan, belum menerima adanya pengajuan tersangka untuk dapat bekerjasama mengungkap orang-orang yang terlibat dalam skandal triliunan rupiah itu.

"Nanti saya tanyakan ke penyidik, ada yang mengajukan atau tidak. Tetapi yang pastinya, sampai sekarang ini, belum ada," jelas Ali.

Kasus Jiwasraya, berawal dari kondisi gagal bayar klaim nasabah Jiwasraya setotal Rp 13,7 triliun per September 2018. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pun dalam audit investigasi pendahuluan menebalkan gagal bayar tersebut, dikarenakan terjadinya ragam penyimpangan dalam pengelolaan BUMN asuransi tersebut. BPK dalam auditnya, pun mengatakan, Jiwasraya mengalami defisit cadangan keuangan senilai Rp 27,2 triliun per November 2019.

Nilai gagal bayar yang dialami Jiwasraya itu, Kejakgung yakini lantaran terjadinya praktik korupsi, dan pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan uang nasabah, dan anggaran negara. Direktur Penyidikan Direktorat Pidsus Febrie Adriansyah menegaskan, kerugian negara terkait dugaan korupsi di Jiwasraya mencapai Rp 17 triliun. Selain korupsi, Kejakgung juga meyakini terjadinya tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsi Jiwasraya.

Atas tuduhan itu, Kejakgung menjerat keenam tersangka dengan Pasa 2 ayat (1), dan Pasal 3, juncto Pasal 18 UU Tipikor 20/2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana. Khusus tersangka Benny Tjokro dan Heru Hidayat, Kejakgung juga menebalkan sangkaan TPPU dengan Pasal 3, 4, atau 5 UU 8/2010. Sampai saat ini, penyidikan terkait kasus tersebut, masih terus dilakukan. Akan tetapi, kata Febrie, 85 persen proses pemberkasan penyidikan sudah selesai.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement