Tumpukan peti kemas di kawasan ini menjadi andalan warga berlindung kala banjir.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendung dan gerimis terus menyelimuti Rorotan, Jakarta Utara, ketika Republika berkunjung ke pengungsian banjir warga Kampung Sepatan, Jumat, 28 Februari 2020 lalu. Republika sempat kesulitan menemukan alamat kampung ini. Akses kawasan kampung ini terpisah jalur dengan perkampungan utama di Malaka I, Jalan Rorotan-Marunda.
Lokasi Kampung Sepatan ini terpisah karena berada di pinggiran jalan non-tol Cakung-Cilincing (Cacing) dekat dengan Cakung Drain dan pergudangan depo peti kemas. Letaknya juga dipisah dengan area luas tanah perumahan elite Kirana Legacy. Untuk sampai masuk ke Kampung Sepatan harus melalui jalan non-tol Cacing, melalui pintu masuk pergudangan atau gang kecil, jalan Kampung Bedeng.
Jalan non-tol Cacing, di luar Tol Lingkar Luar Timur, dikenal padat lalu lalang kendaraan berpeti kemas dengan tonase besar. Ketika menyusuri Jalan Kampung Bedeng, orang akan sampai ke belakang area peti kemas PT Shika Mandiri Sejahtera (PT SMS) hingga berada di area Kampung Sepatan. Di gudang peti kemas inilah Republika menemui posko pengungsian warga Kampung Sepatan.
Tumpukan peti kemas di kawasan ini menjadi andalan warga berlindung kala ancaman banjir datang. Memang Kampung Sepatan merupakan kawasan langganan banjir. Lokasi kampung yang dekat dengan Cakung Drain serta lebih rendah daripada area pergudangan peti kemas menjadi penyebab banjir.
Petugas posko banjir di Kantor Kelurahan Rorotan, Rahmat, ketika menunjukkan arah Kampung Sepatan mengakui, kawasan kampung itu merupakan area "buangan air". Semua kawasan yang lebih tinggi seperti pergudangan peti kemas dan sistem drainasenya lebih bagus seperti perumahan elite Kirana Legacy membuang air mereka ke Cakung Drainase.
"Jadi, kalau hujan lebat dikit saja nih, Kampung Sepatan itu selalu banjir. Apalagi, hujan ekstrem seperti kemarin. Warga di sana selalu mengungsi di pergudangan peti kemas terdekat. Karena tanahnya lebih tinggi dari kampung mereka," ungkap Rahmat.
Sejatinya, kata dia, ada dua area pengungsian untuk warga Kampung Sepatan. Pertama, posko pengungsi Rorotan atas, yang berada di tenda dekat jalan inspeksi Cakung Drainase. Kedua, posko pengungsian Rorotan bawah, yang berada di kawasan gudang peti kemas. Jumlah warga yang mengungsi di peti kemas jumlahnya lebih banyak.
Hal itu diakui warga Kampung Sepatan ketika Republika bertemu sebagian dari mereka yang masih standby di posko pengungsian peti kemas selepas banjir yang melanda pada 23-24 Februari lalu. Slamet Mulyono (76 tahun), warga Kampung Sepatan yang juga ketua posko pengungsian, mengatakan, setidaknya ada 300-an jiwa di posko pengungsian peti kemas. Sementara itu, yang di tenda jumlahnya kurang dari 200 orang
Ia mengungkapkan, dalam dua bulan pada 2020 ini setidaknya sudah empat kali warga mengungsi di peti kemas tersebut. Walaupun sebagian banjir telah surut, tidak menentunya cuaca pada musim hujan membuat sebagian warga tetap memilih tinggal di peti kemas, termasuk Slamet Mulyono dan warga yang lanjut usia lain. "Ya ini sudah seperti rumah kedua kami," kata Slamet.
Slamet mengakui, selama 30 tahun tinggal di Kampung Sepatan ini, ia bersama keluarga memang selalu mengandalkan pergudangan peti kemas sebagai shelter atau tempat pengungsian. Ia mengenang, sejak awal 2000-an, beberapa banjir besar kala itu bahkan membuat warga harus mengungsi di peti kemas hingga berminggu-minggu dan sebulan lamanya.
Pada banjir besar 2002, contohnya, Slamet bersama 400-an warga Kampung Sepatan harus berjibaku bertahan di peti kemas berminggu-minggu. "Yang paling parah pada 2007. Pada saat itu belum ada penormalan kali. Jadi, warga harus berminggu-minggu sampai sebulan di peti kemas," ungkapnya. Hal yang hampir sama juga terjadi pada banjir 2013 dan banjir 2015, ketika warga juga berhari-hari mengungsi di peti kemas.
Pada Januari hingga Februari 2020 kemarin, Slamet mengungkapkan, setidaknya sudah lebih dari tiga kali ia harus bertahan di peti kemas karena hujan turun yang sangat lebat, ditambah banjir kiriman dan naiknya air rob dari utara. Ia dan warga merasa beruntung karena pihak pemilik lahan dan pengelola, PT BCC (Bestindo Central Container), mengizinkan warga menempati peti kemas.
"Ini tidak dikunci, sejak dulu. Jadi, kalau banjir, warga sendiri yang masuk. Alhamdulillah diizinkan, selama kita enggak merusak," kata pria dengan 20 orang cucu ini.
Dia mengakui, PT BCC memang tidak pernah menghalangi warga menggunakan kontainer yang tidak terpakai ini sebagai tempat pengungsian. Setidaknya ada 20-an peti kemas yang digunakan warga untuk mengungsi pada banjir Januari-Februari lalu.
Namun, Slamet kini bersyukur perhatian Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terhadap mereka sudah jauh lebih baik. Mereka mulai mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah bila banjir datang sehingga posko pengungsian ramai. Pasalnya, selama ini, menurut dia, perjalanan hadirnya Kampung Sepatan tidak lepas dari permukiman para pemulung sejak awal 1990-an.
Karena Kampung Sepatan berasal dari kampung pemulung yang sering dianggap ilegal, Slamet mengakui, sejak 1990 hingga akhir 2017-an terkadang perhatian dan pelayanan pemerintah pun kurang. Namun, sejak periode Gubernur Anies Baswedan, ia mengaku merasa lebih diperhatikan. Tidak hanya soal bantuan logistik, tetapi juga berbagai fasilitas pengungsian disediakan.
Nur Jaya (53), seorang warga yang bertugas sebagai penjaga kemanan posko, mengakui sejak banjir 2020 warga jadi lebih sering di kawasan peti kemas. Pasalnya, banjir yang terjadi tiap pekan membuat warga lebih memilih bertahan walau hujan reda dan banjir surut. "Sebagian kembali ke rumah hanya mengecek dan membersihkan rumah. Kalau hujan, ke sini lagi," kata dia.
Apalagi, kini berbagai bantuan dari Pemerintah Kota Jakarta Utara disediakan di sini, mulai dari fasilitas MCK, air bersih, hingga dua buah genset listrik dan lampu penerangan. Walaupun setelah banjir surut beberapa bantuan fasilitas mulai ditarik, warga masih merasa beruntung fasilitas MCK dan air bersih tetap disediakan.
Tidak hanya itu, sumbangan dari warga Jakarta pun kini diakui dia lebih banyak berdatangan. Pasalnya, selama banjir, warga tidak bisa memasak sendiri, sedangkan fasilitas dapur tidak memadai. Karena itu, selama banjir kemarin, warga mengandalkan pengantaran logistik dari warga dan pemerintah. "Walaupun terkadang jumlahnya lebih sedikit, ya kita atur-atur saja biar semua warga kedapatan nasi dan bantuan," ujar Jaya.