REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Nasdem dan Partai Golkar sepakat ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dinaikkan menjadi tujuh persen. Namun, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid (HNW) mengaku, tak setuju dengan usulan tersebut.
Menurutnya jika PT menjadi tujuh persen, banyak rakyat yang tidak akan terwakili. Akibatnya, nama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dirasa tak lagi tepat.
"Mengapa tidak terwakili karena akan terlalu banyak partai yang tidak mencapai. Jangankan tujuh persen, enam persen aja masih sulit," ujar HNW di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/3).
Ia mengimbau, politikus di Indonesia untuk bijak jika ingin sungguh-sungguh berkontribusi untuk rakyat. Bukan justru melontarkan usulan yang dirasa sulit dicapai partai politik yang mewakili masyarakat.
"Untuk menegaskan kembali bahwa wakil rakyat itu nanti adalah wakil rakyat itu. Rakyat Indonesia itu terdiri atas begitu banyak pluralitasnya, ragam suku, ragam budaya," ujar HNW.
Kendati demikian, ia setuju jika ambang batas parlemen dinaikkan menjadi lima persen. Alasannya, memungkinkannya keterwakilan yang lebih luas di Indonesia.
"Dengan cara itu maka keinginan untuk kemudian mengonsolidasikan demokrasi tetap bisa tercapai," ujar HNW.
Sebelumnya, Partai Nasdem dan Partai Golkar sepakat ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dinaikkan menjadi tujuh persen. Usul tersebut keluar dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan, partainya menyambut baik usulan tersebut. Bahkan Partai Golkar siap mendukung konsep tersebut. "Usulan Pak Surya Paloh yang tujuh persen ini berlaku secara nasional," ujarnya.
Sedangkan untuk ambang batas presiden, keduanya sepakat tetap di angka 20 persen. Untuk diketahui ambang batas parlemen yang berlaku pada pemilu 2019 lalu sebesar empat persen.